MTI: Angkot Pintar Jangan Lupakan Sopir dan Pengusaha Lama

Posted on

Wacana peluncuran Angkot Pintar atau Angklung (Angkutan Listrik Kota Bandung) mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno.

Djoko menilai proyek ini sangat mungkin diwujudkan, namun dia meminta pemerintah untuk menekankan pentingnya pendekatan sosial yang manusiawi sejak awal.

Menurut Djoko, keberhasilan angkot pintar bukan hanya soal teknologi atau desain kendaraan, melainkan terletak pada bagaimana pemerintah melibatkan pengemudi dan operator angkot yang sudah ada.

“Prinsipnya itu jangan menggusur tapi menggeser. Kalau pelaku transportasi yang sudah ada dihilangkan pekerjaannya, itu bisa jadi masalah sosial. Tapi kalau mereka diajak, misalnya dari sistem setoran ke sistem gaji, itu bisa diterima. Kalau sopirnya enggak bisa, anaknya bisa jadi sopir atau bagian administrasi,” ujar Djoko saat dihubungi, Senin (4/8/2025).

Djoko menekankan bahwa operator angkot pintar sebaiknya tetap melibatkan pengusaha lama. Bila justru menghadirkan operator baru tanpa konsensus, konflik sosial bisa terjadi.

“Kalau operatornya baru itu nanti jadi masalah. Pasti bentrok. Mereka pasti demo. Maka sejak sekarang, rangkul pengusaha lama itu dengan membentuk konsorsium badan hukum, bisa koperasi atau lainnya. Dibina, jangan dibinasakan,” tegasnya.

Salah satu aspek penting yang kerap dilupakan, kata Djoko, adalah transisi pola penghasilan bagi pengemudi. Perubahan dari sistem setoran harian ke gaji bulanan harus dilakukan secara bertahap dengan pendekatan yang adil dan transparan.

“Sopir biasa ngasih uang harian ke istrinya, misalnya Rp50 ribu. Tiba-tiba digaji bulanan itu enggak mudah. Tapi bisa diakali. Tiap hari tetap dikasih Rp50 ribu, nanti sisanya dikasih akhir bulan. Ini pendekatan manusiawi yang tidak bikin ribut,” jelasnya.

“Ketika mereka diajak diskusi, ya kasih uang saku. Mereka kan enggak narik, uang dari mana? Ini sering dilupakan. Kalau dikasih uang pengganti transport, syukur-syukur lebih dari pendapatan hariannya, mereka pasti senang,” lanjutnya.

Secara teknis, Djoko optimistis angkot listrik bisa dioperasikan di Kota Bandung yang sebagian besar jalannya sempit. Namun, menurutnya, tarif dan subsidi harus jadi perhatian utama.

“Masalah teknis gampang. Tapi harus ada subsidi. Tarif Rp7 ribu itu enggak ada yang mau. Harus belajar dari kota lain. Lakukan survei kemampuan membayar warga (ATP-WTP), dan berikan subsidi bagi kelompok seperti pelajar, mahasiswa, lansia,” tuturnya.

Terkait waktu peluncuran, ia menyarankan agar Pemkot Bandung mulai sosialisasi intensif setidaknya tiga bulan ke depan, termasuk belajar dari daerah-daerah yang sudah lebih dulu menerapkan sistem serupa. Djoko juga mengingatkan pentingnya kebijakan jangka panjang lewat regulasi yang mengikat.

“APBD Bandung itu besar, lebih dari Rp7 triliun. Bandingkan dengan Semarang yang APBD-nya Rp5,5 triliun tapi bisa mensubsidi angkutan umum Rp260 miliar. Walikota Bandung harus segera usulkan Perda Perhubungan, menyebutkan minimal 5% APBD untuk operasional angkutan umum. Kalau sudah ada perda, pemimpin berikutnya tinggal melanjutkan,” tuturnya.

Djoko juga mendorong keterlibatan publik untuk memastikan proyek ini tidak kandas seperti wacana-wacana sebelumnya.

“Kenapa Jakarta angkutan umumnya bagus? Karena ada konsistensi dan tekanan dari masyarakat sipil. Bandung juga harus begitu. Komunitas, kampus, influencer harus terlibat. Kalau enggak nanti Bandung malu kan disebut kota termacet, Jakarta dulu kan nomor satu ternyata bisa nomor lima,” tandasnya.