Menyusuri Rumah Adat Eyang Hasan Maolani, Pejuang dari Kuningan baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Di tengah permukiman warga Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, berdiri sebuah rumah adat khas Sunda yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup dan perjuangan Eyang Hasan Maolani. Rumah ini dikenal sebagai petilasan tempat Eyang Hasan Maolani mengajar agama sekaligus menyalakan semangat perlawanan terhadap penjajahan, sebelum akhirnya diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.

Dari tampak depan, bangunan tersebut berupa rumah panggung yang berdiri di atas fondasi kayu kokoh. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang tersusun rapi, sementara atapnya menggunakan genteng merah. Di dekat bangunan utama, terpasang papan informasi bertuliskan Rumah Adat Eyang Hasan Maolani lengkap dengan sejumlah aturan bagi pengunjung.

Untuk memasuki rumah adat ini, pengunjung harus menaiki tangga kayu. Begitu melangkah ke dalam, suasana sejuk langsung terasa. Bagian dalam rumah terbagi ke beberapa ruangan. Di ruang utama, terlihat hamparan karpet tebal yang biasa digunakan untuk beribadah. Di sampingnya terdapat pintu kayu berwarna hitam dengan ukiran bermotif khas yang menghubungkan ke ruangan lain.

Ruangan setelah pintu tersebut juga dilapisi karpet, berdinding bambu, dan dilengkapi jendela kayu. Selain itu, terdapat satu ruangan khusus yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda bersejarah peninggalan Eyang Hasan Maolani. Sejumlah benda yang masih tersimpan hingga kini di antaranya terompah, kursi, tongkat, jubah, kitab, dan botol.

Pengurus Rumah Adat Eyang Hasan Maolani, Yayat Nurhidayat, mengatakan rumah adat tersebut telah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Meski sempat mengalami renovasi, bentuk aslinya tetap dipertahankan.

“Pernah direnovasi, tapi bentuk aslinya masih tetap dipertahankan sebagai rumah panggung khas Sunda. Rumah ini juga dikenal dengan nama petilasan Eyang Hasan Maolani,” ujar Yayat.

Menurut Yayat, sebelum diasingkan ke Manado, rumah adat itu menjadi pusat kegiatan keagamaan sekaligus tempat menumbuhkan semangat perlawanan terhadap penjajah.

“Sudah berdiri sejak tahun 1800-an. Dulu jadi tempat pengajian, musala, sekaligus tempat perlawanan. Awalnya juga ada keris dan pedang, tapi karena dulu tidak ada kunci, sebagian benda hilang. Yang tersisa sekarang bokor, kursi, jubah, dan terompah,” tuturnya.

Hingga kini, rumah adat tersebut masih aktif digunakan oleh masyarakat. Selain sebagai tempat ziarah, rumah ini kerap dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan dan ruang berkumpul warga.

“Malam Jumat ada pembacaan maulid, malam Minggu sebulan sekali ada pengajian. Hari Sabtu ada yasinan, dan Minggunya pembacaan salawatan. Masih sering digunakan juga oleh pengunjung yang ingin beribadah atau nyepi,” kata Yayat.

Dalam jurnal Eyang Hasan Maolani Musuh Kompeni: Argumen Kepahlawanan karya Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Oman Fathurahman, disebutkan bahwa Eyang Hasan Maolani lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, pada 21 Mei 1782 Masehi. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang tekun menuntut ilmu agama.

Beberapa ulama yang pernah menjadi guru Eyang Hasan Maolani di antaranya Kiai Alimuddin Pangkalan, Kiai Sholehudin, Kiai Kosasih Kadugede, serta Kiai Bagus Arjean Rajagaluh. Setelah menimba ilmu, Eyang Hasan menikah dengan seorang perempuan asal Garawangi bernama Murtasim binti Kiai Arifah.

Di kampung halamannya, Eyang Hasan Maolani mendirikan majelis ilmu. Seiring waktu, jumlah santrinya terus bertambah dan pengaruhnya semakin meluas. Ia dikenal gigih menentang penjajahan, termasuk melalui pengajian yang selalu mengingatkan pentingnya melawan ketidakadilan.

Meski berada di bawah tekanan pejabat kolonial yang bersikap represif, Eyang Hasan Maolani tetap menyuarakan perlawanan, terutama setelah meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Ajarannya dianggap membahayakan kekuasaan kolonial Belanda.

Pada 1842, pemerintah kolonial Hindia Belanda menangkap Eyang Hasan Maolani dan mengasingkannya ke Manado, Sulawesi Utara. Di tempat pembuangan, ia bertemu dengan tokoh-tokoh perlawanan lain, salah satunya Kiai Modjo.

Pengasingan Eyang Hasan Maolani merupakan bagian dari kebijakan kolonial yang menyingkirkan tokoh berpengaruh dari komunitasnya untuk meredam perlawanan rakyat. Hingga akhir hayatnya, Eyang Hasan Maolani menetap di Manado dan wafat pada 29 April 1874 dalam usia 94 tahun.

Sebelum meninggal dunia, Eyang Hasan Maolani mengirimkan beberapa helai rambutnya ke kampung halaman untuk dimakamkan di Desa Lengkong. Hal itu dilakukan agar keturunannya tetap dapat berziarah ke tanah kelahirannya.

Profil Eyang Hasan Maolani

Gambar ilustrasi

Dalam jurnal Eyang Hasan Maolani Musuh Kompeni: Argumen Kepahlawanan karya Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Oman Fathurahman, disebutkan bahwa Eyang Hasan Maolani lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, pada 21 Mei 1782 Masehi. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang tekun menuntut ilmu agama.

Beberapa ulama yang pernah menjadi guru Eyang Hasan Maolani di antaranya Kiai Alimuddin Pangkalan, Kiai Sholehudin, Kiai Kosasih Kadugede, serta Kiai Bagus Arjean Rajagaluh. Setelah menimba ilmu, Eyang Hasan menikah dengan seorang perempuan asal Garawangi bernama Murtasim binti Kiai Arifah.

Di kampung halamannya, Eyang Hasan Maolani mendirikan majelis ilmu. Seiring waktu, jumlah santrinya terus bertambah dan pengaruhnya semakin meluas. Ia dikenal gigih menentang penjajahan, termasuk melalui pengajian yang selalu mengingatkan pentingnya melawan ketidakadilan.

Meski berada di bawah tekanan pejabat kolonial yang bersikap represif, Eyang Hasan Maolani tetap menyuarakan perlawanan, terutama setelah meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Ajarannya dianggap membahayakan kekuasaan kolonial Belanda.

Pada 1842, pemerintah kolonial Hindia Belanda menangkap Eyang Hasan Maolani dan mengasingkannya ke Manado, Sulawesi Utara. Di tempat pembuangan, ia bertemu dengan tokoh-tokoh perlawanan lain, salah satunya Kiai Modjo.

Pengasingan Eyang Hasan Maolani merupakan bagian dari kebijakan kolonial yang menyingkirkan tokoh berpengaruh dari komunitasnya untuk meredam perlawanan rakyat. Hingga akhir hayatnya, Eyang Hasan Maolani menetap di Manado dan wafat pada 29 April 1874 dalam usia 94 tahun.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Sebelum meninggal dunia, Eyang Hasan Maolani mengirimkan beberapa helai rambutnya ke kampung halaman untuk dimakamkan di Desa Lengkong. Hal itu dilakukan agar keturunannya tetap dapat berziarah ke tanah kelahirannya.

Profil Eyang Hasan Maolani