Menyusuri Paseban Tri Panca Tunggal Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan

Posted on

Salah satu tempat bersejarah di Kabupaten Kuningan adalah Paseban Tri Panca Tunggal yang menjadi pusat kegiatan bagi masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan. Sebagai bangunan cagar budaya, Paseban Tri Panca Tunggal sudah berusia ratusan tahun. Tampak dari depan sebuah tulisan Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal Kepangeranan Gebang Kinatar Cigugur Kuningan.

“Arti dari Tri Panca Tunggal sendiri, tri itu tiga, panca itu lima, tunggal itu satu. Jadi tempat perdamaian antara raga kita dengan cita rasa dan karsanya. Harus bersatu sesuai kodratnya sebagai manusia,” tutur Sesepuh Sunda Wiwitan Cigugur, Subrata saat berbincang dengan infoJabar, belum lama ini.

Ciri khas dari bangunan Paseban Tri Panca Tunggal adalah atap yang bertingkat dengan tonggak besi dan kelopak bunga di bagian ujungnya. Di bagian depan juga terlihat deretan jendela dan pintu masuk yang terbuat dari kayu berwarna cokelat. Di sekeliling paseban terdapat pagar berwarna putih yang terbuat dari susunan batu bata.

Di dekat paseban juga terdapat sebuah bangunan bertingkat mirip pura, dan sebuah taman yang terdiri dari beberapa bangunan dan saung yang terbuat dari bambu dengan atap jerami.

Subrata memaparkan Paseban Tri Panca Tunggal terbagi dalam beberapa bagian. Pertama, ruangan Jinem yang berfungsi sebagai tempat menyimpan pusaka seperti wayang, patung dan ranjang kencana. Selain menjadi tempat menyimpan pusaka, ruangan Jinem juga digunakan untuk kegiatan atau acara yang ada di Sunda Wiwitan Cigugur. Di dalam Jinem terdapat 4 tiang utama yang memiliki makna 4 elemen yang ada di dunia, yakni api, angin, air dan tanah.

Kedua, ruangan pendopo yang di dalamnya terdapat lambang Purwa Wisada, yakni lambang yang berupa burung Garuda dengan sayap terbentang, yang berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda. Di tengah lingkaran terdapat simbol Tri Panca Tunggal. Dan, di bawah lingkaran terdapat sepasang naga bermahkota dengan ekor yang saling mengait.

“Purwa itu awal dan Wisada itu cipta dan karsa. Kenapa disimbolkan naga yang berkaitan, karena menggambarkan bahwa hidup kita tidak bisa dipisahkan antara laki-laki dan perempuan,” tutur Subrata.

Ketiga, ruangan Sri Manganti yang digunakan untuk tempat musyawarah keluarga, keempat ruangan Megamendung yang di dalamnya terdapat kitab-kitab filsafat dan kerohanian dari seluruh agama dan kepercayaan. Kelima, ada ruangan Bale Binarum yang di dalamnya terdapat banyak ukiran dan tulisan. Dan, yang keenam atau terakhir adalah ruang dapur Ageng.

“Dan yang terakhir adalah dapur Ageng, di sana ada tungku besar tapi bukan untuk memuja api. Tapi memiliki makna bahwa kita tidak terlepas dari hawa nafsu. Kadang kala kita berbuat salah, jadi jangan sampai perbuatan yang buruk itu terulang kembali,” tutur Subrata.

Subrata memaparkan, Paseban Tri Panca Tunggal sudah ada sejak tahun 1860 dibangun oleh seorang pejuang keturunan Kerajaan Gebang yang bernama Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusuma Wijaya atau dikenal dengan Pangeran Sadewa atau Pangeran Madrais.

Kala itu, karena menentang penjajah, Kerajaan Gebang dihancurkan oleh penjajah Belanda. Untuk menyelamatkan diri, Pangeran Madrais dari Gebang yang saat itu masih balita dikirim ke Cigugur Kuningan.

“Yang mendirikan memang bukan orang Cigugur tapi Pangeran dari Gebang Kinatar yang lokasinya sebelah timur Cirebon di antara Ciledug dan Losari. Saat itu kerajaan Gebang melalui Pangeran Sutajaya sangat menentang penjajahan Belanda, karena tidak disenangi akhirnya keratonnya dihancurkan,” tutur Subrata.

Pangeran Madrais sendiri merupakan anak dari Pangeran Alibasa, cucu Pangeran Sutajaya yang menikah dengan Raden Kastewi yang merupakan putri dari Tumenggung Jayadipura Susukan. Namun, karena saat itu keturunan Kerajaan Gebang diburu oleh penjajah Belanda, membuat keberadaan Pangeran Madrais atau Pangeran Sadewa dirahasiakan.

“Sebelum dibawa ke Cigugur, Pangeran Sadewa diungsikan terlebih dahulu di daerah Brebes di leuweung bata atau hutan bata. Nah baru setelah itu, Pangeran Sadewa dititipkan ke Cigugur dan jangan diceritakan siapa ayahnya, dan namanya juga tidak membawa nama bangsawan. Kenapa begitu supaya tidak tercium oleh Belanda,” tutur Subrata.

Di Cigugur, Pangeran Madrais hidup dan mendirikan padepokan yang kini menjadi Paseban Tri Panca Tunggal. Dulu, paseban digunakan Pangeran Madrais untuk mengajarkan ajaran Sunda Wiwitan. Saat sudah mendirikan Padepokan juga, Pangeran Madrais akhirnya menyatakan bahwa ia adalah keturunan Kerajaan Gebang.

Mengetahui ada keturunan Pangeran Gebang yang masih hidup, ditambah Pangeran Madrais yang sangat menentang penjajah Belanda. Menurut Subrata, karena sikapnya, Pangeran Madrais sempat diasingkan oleh Belanda ke Digul.

“Belanda itu sampai mengirim empat orang ke Cigugur untuk memperhatikan gerak geriknya Pangeran Madrais. Sampai beliau terang-terangan melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Digul dari 1901 sampai 1908, karena dianggap melawan Belanda,” pungkas Subrata.

Sosok Pangeran Madrais

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *