Menikah di Bulan Suro Membawa Sial? Ini Asal-usul dan Penjelasan Dalam Islam

Posted on

Bulan Suro atau Muharram kerap dianggap sebagai waktu yang kurang baik untuk menyelenggarakan pernikahan. Banyak keluarga yang memilih menunda pernikahan di bulan ini karena percaya akan hal buruk yang mengintai selepas akad berlangsung.

Kepercayaan serupa juga ditemukan di beberapa negara Timur Tengah, termasuk Mesir. Di sana, sebagian orang bahkan sampai menyebut bahwa menikah di bulan Muharram hukumnya haram. Benarkah demikian? Bagaimana larangan menikah di bulan Suro menurut pandangan Islam? Simak ulasannya berikut ini!

Penelitian berjudul “Pantangan Melakukan Perkawinan Pada Bulan Suro di Masyarakat Adat Jawa Perspektif Hukum Islam” oleh Masrukan, Maghfur Ahmad, dan Hafid Safrudin dari Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri mengungkap bahwa sebagian besar masyarakat Jawa memandang bulan Suro sebagai bulan sakral.

Segala bentuk hajatan, termasuk pernikahan, dianggap tabu dilakukan pada bulan ini. Mereka percaya bahwa menikah di bulan Suro akan menyebabkan rumah tangga tidak harmonis, sering mengalami masalah, hingga mendatangkan kesialan atau musibah bagi kedua belah pihak keluarga.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah “sasi ala kanggo ijab ing penganten”, yang berarti bulan buruk untuk ijab pengantin. Keyakinan ini tidak hanya didasarkan pada pengalaman turun-temurun, tetapi juga dipengaruhi oleh hitungan weton, primbon, dan tradisi mistik lainnya yang mengakar dalam kebudayaan lokal.

Usut puntya usut, anggapan serupa juga ditemukan di luar Indonesia. Ustadz Muhammad Ahdanal Khalim dalam tulisannya di NU Online menyebut bahwa di Mesir juga terdapat kelompok masyarakat yang memandang bulan Muharram sebagai waktu terlarang untuk menikah. Bahkan, isu ini sampai dibahas dalam fatwa resmi Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah.

Dalam salah satu fatwanya disebutkan:

“ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﻋﻘﺪ اﻟﺰﻭاﺝ ﻓﻰ ﺷﻬﺮ اﻟﻤﺤﺮﻡ ﺣﺮاﻡ ﺃﻭ ﺷﺆﻡ، ﻓﻬﻞ ﻫﺬا ﺻﺤﻴﺢ؟”
“Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pernikahan di bulan Muharram hukumnya haram atau membawa keburukan. Apakah hal ini benar?” (Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah 10/25)

Fenomena ini menunjukkan bahwa keyakinan semacam ini tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga ditemukan di wilayah lain yang memiliki pengaruh budaya kuat, khususnya budaya Arab pra-Islam.

Islam sebagai agama yang lurus tidak mendasarkan hukum pada mitos, simbol atau anggapan sial terhadap waktu tertentu. Dalam syariat Islam, tidak ditemukan satupun ayat Al-Qur’an atau hadist shahih yang melarang umat Muslim menikah di bulan Muharram atau bulan apapun.

Ustadz Muhammad Ahdanal Khalim menjelaskan bahwa tradisi larangan menikah di bulan tertentu sebenarnya sudah muncul sejak zaman Jahiliyah. Dulu, orang Arab juga memiliki keyakinan bahwa menikah di bulan Syawal akan membawa kesialan. Mereka menafsirkan kata “Syawal” sebagai bulan yang buruk karena berasal dari akar kata yang berarti “terangkat” atau “berkurang”, yang menurut mereka bisa menandakan kegagalan rumah tangga.

Namun, ia mengatakan, keyakinan ini dibantah langsung oleh Nabi Muhammad S.A.W dengan tindakan nyata. Beliau menikahkan putrinya, Sayyidah Fatimah, di bulan Syawal. Ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan apapun dari sisi agama terkait waktu pernikahan.

Lebih jauh, Rasulullah S.A.W bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ

“Tidak ada penyakit (menular dengan sendirinya) dan tidak ada kesialan (yang menghentikannya berbuat sesuatu).” (HR. Muslim)

Kata “thiyarah” dalam hadist di atas dimaknai sebagai kesialan atau pertanda buruk. Dalam Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim dijelaskan bahwa thiyarah termasuk dalam kesyirikan karena meyakini bahwa suatu kejadian buruk berasal dari selain Allah, seperti waktu, tempat, atau benda.

Artinya, jika seseorang menunda pernikahan karena takut bulan tertentu membawa sial, ia telah terjebak dalam keyakinan yang keliru dan bertentangan dengan tauhid. Dalam fatwa resmi Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah juga ditegaskan:

“ومهما يكن من شىء فلا ينبغى التشاؤم بالعقد فى أى يوم ولا فى أى شهر، لا فى شوال ولا فى المحرم ولا فى صفر ولا فى غير ذلك، حيث لم يرد نص يمنع الزواج فى أى وقت من الأوقات ما عدا الإحرام بالحج أو العمرة”

“Bagaimanapun juga, tidak boleh ada anggapan kesialan dalam pernikahan yang dilakukan pada hari atau bulan tertentu seperti pada bulan Syawal, Muharram, Shafar, dan lainnya, karena tidak ada dalil yang mencegah menikah pada waktu tersebut. Hal ini berbeda dengan larangan menikah ketika ihram dalam haji atau umrah.” (Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah 10/25)

Pandangan serupa juga ditemukan dalam hasil penelitian Masrukan dkk. Mereka menegaskan bahwa tidak ada satu pun nash dalam Al-Qur’an maupun Hadist yang mengatur larangan menikah di bulan tertentu, termasuk bulan Suro. Bahkan mereka mengutip ayat berikut:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur: 32)

Dalam penelitiannya, Masrukan dkk menyebut bahwa Islam memotivasi umatnya untuk menikah jika telah siap, tanpa mempertimbangkan waktu-waktu tertentu sebagai syarat atau larangan. Keyakinan terhadap keramatnya bulan tertentu seperti Suro tidak memiliki dasar dalam Islam dan justru cenderung kepada praktik tathayyur (beranggapan sial), yang dilarang.

Jika seseorang menggunakan primbon, weton, atau hitungan Jawa untuk menentukan hari baik dan buruk dalam pernikahan, maka praktik tersebut tidak dibenarkan secara syar’i. Ini karena penentuan hukum dalam Islam harus berdasarkan nash, bukan tradisi yang tidak bersumber dari wahyu.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa menikah di bulan Suro atau Muharram dalam Islam adalah boleh. Pandangan yang menyatakan bahwa menikah di bulan Suro membawa sial tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Anggapan tersebut lebih dekat kepada warisan budaya lokal dan mitos zaman dahulu. Semoga membantu!

Asal Kepercayaan Larangan Menikah di Bulan Suro

Pandangan Islam Soal Menikah di Bulan Suro