Puncak upacara tradisi Seren Taun Sunda Wiwitan Cigugur 2025 berlangsung pada hari Kamis (19/6/2025) di depan Paseban Tri Panca Tunggal. Pantauan infoJabar di lokasi terlihat ratusan orang memadati area sekitar Paseban. Mereka berkumpul untuk melihat berbagai macam prosesi dari upacara seren taun 2025.
Acara puncak seren taun 2025 dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, setelah itu dilanjutkan dengan penampilan tari Jamparing Apsari. Wakil Ketua Panitia Seren Taun 2025 Dewi Kanti memaparkan tari Jamparing Apsari merupakan tari tradisional yang ada di Sunda Wiwitan Cigugur. Penari Jamparing Apsari berjumlah delapan perempuan, semua penari dilengkapi dengan beberapa atribut aksesoris seperti busur dan panah. Mereka memakai pakaian warna hijau dan selendang berwarna merah muda. Untuk gerakannya cenderung lembut dan tidak terburu-buru.
Delapan penari tersebut melambangkan delapan penjuru mata angin. Sedangkan untuk busur dan anak panahnya sendiri memiliki makna sebagai perwujudan untuk menggugah rasa kesadaran dalam setiap diri manusia.
“Jamparing itu seperti busur dan anak panah yang sejatinya anak panah ini dilesatkan dari busurnya, tapi bukan untuk mematikan tapi untuk menggetarkan rasa kesadaran diri selaku manusia sebagai wujud menjaga karakter bangsa. Angka delapan sendiri sebagai cinta kasih maha kuasa itu hadir dari delapan penjuru mata angin, ” tutur Dewi, Kamis (19/6/2025).
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Setelah pementasan tari Jamparing Apsari dilanjutkan dengan pementasan angklung Kanekes dan angklung Buncis. Angklung Kanekes merupakan angklung dari kampung adat Kanekes Baduy Luar. Dipentaskannya angklung Kanekes menunjukkan adanya hubungan kultural yang sama antara Baduy dengan Sunda Wiwitan Cigugur.
“Kalau mereka itu istilah bertapa dalam kesunyian. Nah kalau kami bertapa dalam keramaian di mana kami harus menanggung konsekuensi didiskriminasi yah diterima. Karena hidup dalam dua dunia, dunia masa lalu dan dunia modern,” tutur Dewi.
Sedangkan untuk angklung Buncis sendiri merupakan angklung karya dari Rama Jati yang dikembangkan sejak tahun 1970-an. Angklung Buncis menggambarkan dinamika para pemuda dan petani dalam aktivitas kesehariannya.
“Angklung buncis menggambarkan dinamika pemuda yang riang gembira, di mana dalam hidup harus tetap optimis, bersinergis dan bekerja sama. Nadanya juga cenderung meriah,” tutur Dewi.
Setelah pementasan angklung Kanekes dan angklung Buncis dilanjutkan dengan pementasan tari Buyung. Menurut Dewi, tari Buyung merupakan tari yang diperuntukkan untuk remaja putri. Dengan aksesoris tari berupa kendi berwarna cokelat, tari Buyung menggambarkan sosok wanita yang mengambil air di mata air.
“Jadikan kebiasaan para perempuan dulu sebelum ada MCK masing-masing. Mereka itu berkumpul dalam suasana kebersamaan mengambil air dari mata air secara bersama-sama dan mengoptimalkan sumber-sumber mata air menjadi tempat perjumpaan untuk mandi dan cuci,” tutur Dewi.
Tari Buyung, lanjut Dewi, bertujuan untuk membangun kesadaran kepada manusia di zaman sekarang bahwa hidup harus bersama-sama dan menjaga mata air yang menjadi sumber kehidupan. Pascatari Buyung, dilanjutkan dengan prosesi Helaran Memeron yang merupakan kegiatan untuk menunjukkan karya seni yang dibuat oleh masyarakat secara bersama-sama di setiap dusun. Prosesi Helaran Memeron memiliki makna bahwa hidup harus gotong royong satu sama lain.
Selain Helaran Mameron, ada juga prosesi Ngajayak, yakni sebuah prosesi di mana masyarakat dari empat penjuru mata angin menyerahkan hasilnya buminya kepada kepala adat secara berurutan dari mulai anak muda, ibu-ibu hingga bapak-bapak.
“Di bagian depan itu bari anak-anak muda, tengah ibu-ibu dan yang belakang bapak-bapak. Kenapa yang muda di depan, karena anak muda itu pemilik masa depan bangsa. Kemudian ibu-ibu di tengah yang membawa tumben dengan membawa harapan agar anak-anak yang di depan itu diberikan kekuatan dan bimbingan dari semesta, dan bapak di belakang sebagai pengayom keluarga,” tutur Dewi.
Setelah semua prosesi dan pementasan selesai dilanjutkan dengan acara intinya, yakni menumbuk padi. Menurut Dewi, proses menumbuk padi ini tujuannya agar generasi muda mengetahui dan menghargai sebuah proses pembentukan sebuah pagan. Prosesi menumbuk padi juga menjadi akhir dari rangkaian Upacara adat Seren Taun Sunda Wiwitan Cigugur 2025.
Salah satu pengunjung, Tia (20) mengaku senang bisa mengikuti prosesi Upacara Adat Seren Taun 2025. Menurutnya, lewat upacara adat ini dirinya menjadi lebih tahu tentang kebudayaan Sunda. Tia sendiri sudah dua kali datang ke acara upacara Seren taun Cigugur.
“Senang. Di sini kita jadi tahu kebudayaan Sunda itu kayak gimana. Sudah dua kali di sini, tahun kemarin juga ikut, ” tutur Tia.
Senada dengan Tia, Azzahra (20) merasa senang bisa ikut prosesi Seren Taun. Menurutnya, dengan mengikuti upacara Seren Taun memberikan banyak pengetahuan baru kepada dirinya.
“Seru, jadi lebih tahu. Tahun kemarin ikut pas penutupan saja. Tapi tahun sekarang ikut semua dari pembukaan sampai penutupan,” pungkas Azzahra.
Upacara Adat Seren Taun Sunda Wiwitan Cigugur 2025 mengambil tema Nilai Luhur Tradisi Bangsa Sebagai Pedoman Menuju Indonesia Emas. Diharapkan lewat upacara Seren taun para generasi muda mempelajari nilai Luhur sebagai modal masa depan untuk Indonesia yang lebih baik.