Gunung Karang yang berlokasi di Kelurahan Limusnunggal, Kecamatan Cibeureum, Kota Sukabumi menyimpan banyak misteri. Dari batu-batu menyerupai hewan hingga rongga yang disangka gua, lokasi ini kerap dikaitkan dengan cerita rakyat dan mitos harta karun. Tapi, apa kata para ahli?
Penelitian terbaru dilakukan tim ahli prasejarah dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengkaji koleksi Museum Prabu Siliwangi, termasuk batu-batu unik yang disebut menyerupai bentuk ikan, wajah manusia, kepala ular hingga anjing laut.
“Kita melakukan penelitian di Gunung Karang berdasarkan koleksi museum. Ternyata batuan di sana adalah batuan gamping, batuan laut,” kata Zubair Mas’ud, ahli prasejarah lingkungan BRIN kepada infoJabar, Minggu (1/6/2025).
Zubair mengatakan, pihaknya menemukan indikasi Gunung Karang sempat digunakan untuk praktik religi yang tidak sesuai dengan syariat. “Di atas Gunung Karang ada batu nisan dan susunan batu yang berdiri seperti tempat bertapa,” sambungnya.
Bagi Zubair, potensi edukatif Gunung Karang juga patut digali. Ia menyarankan agar pengunjung museum bisa langsung melihat lingkungan aslinya untuk memahami bentuk batu yang menyerupai hewan-hewan itu.
“Kalau pengunjung penasaran, bisa langsung lihat lingkungannya. Pemerintah juga bisa kembangkan jadi rekreasi seperti arung jeram, karena ada sungai kecil di sana,” ujarnya.
Sementara itu, Jatmiko, ahli prasejarah masa paleolitik BRIN, menegaskan bentuk-bentuk unik batuan di Gunung Karang bukan buatan manusia. “Itu batu-batu alam. Mitosnya menyerupai wajah, binatang, ikan. Tapi bukan buatan manusia,” ungkapnya.
Gunung Karang disebut terbentuk dari proses geologi sangat lama. Jejak kerang laut yang menempel di batu-batunya menjadi bukti bahwa area itu dulunya bagian dari dasar laut.
“Kalau bicara kronologi, itu sangat tua. Ada cangkang kerang, karangnya juga sudah sangat masif. Proses jutaan tahun,” jelas Jatmiko.
Namun, ada hal yang mengkhawatirkan. Menurut Dwiyani Yuniawati Umar, ahli prasejarah megalitik dari BRIN, area Gunung Karang kini mulai rusak karena aktivitas manusia.
“Bagian tengahnya dibolongin orang. Masih ada bekas sarung tangan, pecahan piring. Kalau mau dijadikan eko-museum, harus diamankan dulu,” tegas Dwiyani.
Soal rongga batu yang disebut sebagai gua, Jatmiko menjelaskan itu hanyalah celah akibat runtuhan karang. Batu itu pun disebut berjenis batuan gamping.
“Itu bukan gua, tapi puing-puing kolaps. Tapi karena bentuknya mirip rongga, orang mengira ada gua dan mulai menggali, berharap temukan harta karun. Galian mereka sampai 2 meter,” ungkapnya.
Misteri Gunung Karang memang masih jadi perdebatan, antara mitos dan fakta ilmiah. Tapi yang jelas, warisan geologis dan potensi edukatifnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Pihak BRIN pun mengusulkan agar kawasan tersebut menjadi eko-museum.