Gede menunjukkan aktivitas vulkanik baru-baru ini. Wajar, gunung ini memang termasuk tipe gunung api yang aktif. Gunung yang berpijak di perbatasan Cianjur, Sukabumi, dan Bogor ini pernah berulang kali meletus. Sekarang ini telah terjadi puluhan kali gempa vulkanik di Gunung Gede yang dapat memicu erupsi freatik.
Karena aktif, Gunung Gede dikategorikan menjadi gunung api tipe A. Yakni yang punya riwayat letusan sejak abad ke-17 M hingga kini. Selain yang seperti Gunung Gede, ada pula gunung api yang dikategorikan tipe B dan tipe C.
Apa maksud tipe-tipe gunung api itu, dan bagaimana cara mengenalinya? Artikel ini akan membahas tiga tipe gunung api berdasarkan aktivitasnya. Simak yuk!
Pernahkan kita bertanya bagaimana gunung api terbentuk? Dan jika kita mau mengambil hikmah dari terbentuknya gunung api, kita akan melihat ketabahan luar biasa dari pergerakan bumi yang hanya 6 cm per tahun.
Syamsul Rizal Wittiri dalam bukunya Mengenal Gunung Api Indonesia (Badan Geologi, 2014) mengemukakan teori tektonik lempeng untuk menjelaskan bagaimana gunung api terbentuk.
“Bagian dari kulit bumi (litosfer) merupakan lempeng yang tegar (rigid) bergerak satu terhadap lainnya di atas suatu masa yang plastis (astenosfer) dengan kecepatan 4-6 cm setiap tahun. Bila kedua lempeng yang sifatnya berbeda bertabrakan, maka salah satu akan menukik ke dalam.” (hal. 5)
Lebih jelas Wittiri menerangkan dengan istilah lempeng benua dan lempeng samudra. Jika suatu ketika kedua lempeng ini bertabrakan, maka lempeng samudra akan menukik ke dalam karena sifatnya lebih plastis dan punya kepadatan yang rendah.
Daerah tabrakan dua lempeng ini disebut ‘zona tumbukan’ atau zona subduksi. Di titik inilah terjadi pelelehan batuan akibat panas. Batuan yang melebur itu menjadi magma, yang kadang terpisah atau tercampur dengan elemen lain di kerak bumi yang dilaluinya.
“Keluar melalui rekahan yang terbentuk ketika tabrakan berlangsung dan akhirnya membentuk rangkaian gunung api,” tulisnya.
Magma atau batuan yang cair karena panas kemudian menjadi lebih ringan dibandingkan batuan yang dingin. Karenanya, magma akan bergerak naik ke permukaan. Perlahan tapi terus menerus, meski terkadang tidak mulus karena magma kehabisan energi atau terhalang batu di atasnya.
Cairan panas itu akan terus menunggu momen untuk bergerak ke permukaan bumi. Gempa bumi bisa jadi memuluskan perjalanan magma karena memecahkan batu penghalang jalurnya.
Wittiri menjelaskan, magma terbentuk pada kedalaman 10.000 meter. Cairan panas itu suhunya 1200 derajat celcius. Magma yang panas dan berada di lingkungan yang dingin sesuai dengan teori fisika, yaitu akan bergerak secara vertikal. Magma naik ke permukaan. Tapi, ketika tekanan di permukaan berkurang, magma akan bergerak dan menyebabkan retakan. Retakan inilah penyebab gempa vulkanik.
Jika tekanan di permukaan setimbang, maka magma akan berhenti bergerak dan akan menanti kesempatan berikutnya untuk meletus. Ada banyak faktor yang termasuk dalam ‘tekanan’ penyebab magma keluar.
Dikutip dari situs ditsmp.dikdasmen.go.id disebutkan “magma mengandung gas-gas vulkanik seperti uap air, karbon dioksida, dan belerang dioksida. Gas-gas ini terperangkap dalam magma yang berada di kedalaman bumi dan membentuk tekanan yang besar. Seiring bertambahnya endapan magma, tekanan gas meningkat dan terus mendesak menuju permukaan. Ketika tekanan ini mencapai titik maksimal, gunung berapi meletus untuk melepaskan energi tersebut.”
Menurut Syamsul Rizal Wittiri, gunung api di Indonesia terbentang sejak Pulau Sumatera, menyusuri Pulau Jawa, lalu menyeberang ke Bali, Nusa Tenggara, hingga timur Maluku dan berbelok ke Utara ke Sulawesi.
Pola tersebut seolah-olah menampilkan bahwa gunung api melingkari kepulauan-kepulauan di Indonesia, sehingga muncullah istilah Cincin Api atau The Ring of Fire Indonesia.
Memang, Indonesia surplus gunung api. Jumlahnya sebanyak 13 persen dari keseluruhan gunung api dunia. Tepatnya, sebanyak 129 gunung api ada di Indonesia.
Jawa Barat termasuk daerah dengan gunung api yang tidak sedikit. Ada Gunung Gede di Cianjur, Salak di Sukabumi, Gunung Ciremai di Majalengka, Gunung Manglayang yang tertidur pulas, Gunung Tampomas di Sumedang, Papandayan di Garut, Tangkuban Parahu di Bandung, dan Galunggung di Tasikmalaya. Belum lagi gunung-gunung di masa purba, seperti Jayagiri dan Gunung Sunda.
Dari jumlah 129 gunung api di Indonesia itu, tidak semuanya pernah meletus. Tetapi, para ahli menilai berdasarkan karakteristik dan pola batuan bahwa gunung-gunung tersebut tetap disebut gunung api.
Untuk semakin memudahkan, maka diklasifikasikan gunung-gunung api itu dengan tiga tipe. Tipe A, tipe B, dan tipe C. Apa maksudnya itu semua?
Gunung api tipe A, menurut SR. Wittiri dalam buku Mengenal Gunung Api Indonesia merupakan gunung yang pernah meletus atau meningkat kegiatannya sejak tahun 1600 M sampai sekarang. Jumlah gunung api tipe A ini di Indonesia ada sebanyak 78 gunung.
Contohnya di Jawa Barat gunung api tipe A, ada Gunung Gede di Cianjur, Gunung Salak di Sukabumi, Gunung Guntur di Garut, dan Gunung Ciremai di Majalengka.
Gunung api tipe B adalah gunung api yang tidak punya riwayat letusan terhitung tahun 1600 M. Akan tetapi, pada gunung tersebut, terdapat lubang bekas letusan atau kawah tidak aktif. Lubang itu entah pada badan gunung maupun pada puncaknya.
Di Indonesia, jumlah gunung api tipe B ini ada 30 gunung. Di antaranya, di Jawa Barat ada Gunung Patuha dan Wayang Windu di Kabupaten Bandung.
Gunung api tipe C ini unik. Yakni, hanya punya manifestasi panas bumi. Akan tetapi, gunung api tipe C ini tidak punya riwayat letusan terhitung sejak tahun 1600 maupun sebelumnya. Pada gunung ini juga tidak ditemukan lubang atau kawah tidak aktif yang merupakan bekas letusan.
Jumlah gunung seperti ini di Indonesia ada 21 gunung. Di Jawa Barat, di antaranya Kawah Kamojang, Kawah Manuk, dan Talagabodas.