Langit Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Sabtu (9/8/2025) siang itu mendung tipis, menyisakan hawa sejuk yang merayap di antara pepohonan hutan lindung. Jalan Cisarakan penghubung Kiarawalawang dan Buniwangi terlihat lengang.
Aspalnya basah sisa hujan pagi, sementara di kiri-kanan, pepohonan hijau tumbuh rapat, sebagian menjuntai dengan akar panjang seperti tirai alam. Sesekali terdengar gemericik air dari mata air alami di tepi jalan, bening dan dingin, tempat warga atau pelintas membasuh wajah sebelum kembali berkendara.
Di pinggir jalan, beberapa warung sederhana berdiri. Bangkunya panjang, atapnya dari seng yang sudah sedikit pudar. Sinyal internet di sini nyaris tak berdenyut. Layar ponsel hanya memamerkan tanda hilangnya jaringan.
Alih-alih mengeluh, para pengunjung justru menganggapnya berkah. Tak ada notifikasi yang tiba-tiba memotong percakapan. Tak ada jemari yang sibuk mengetik pesan balasan saat lawan bicara masih berbicara
Di salah satu warung, Nandi, Ilyas, Edo, dan Nanan duduk berderet, secangkir kopi hitam mengepulkan uap di depan mereka. Keempatnya bekerja di Palabuhanratu, hanya beberapa kilometer dari sini, namun hampir setiap pekan mereka memilih menepi ke tempat ini.
“Di sini asik banget, nggak ada sinyal. Jadi ngobrolnya nyambung terus,” ujar Nandi sambil tersenyum, tangannya memutar sendok kecil di gelas.
“Kalau di kota, baru ngomong sebentar, eh, lawan bicara sudah sibuk buka ponsel,” imbuhnya.
Ilyas, yang duduk di sebelahnya, menambahkan serunya menepi sejenak dari rutinitas lalu nongkrong di lokasi itu.
“Kadang kita bahas hal-hal remeh, tapi jadi seru karena nggak ada distraksi. Rasanya kayak balik ke masa sekolah dulu, nongkrong lama, ngobrol ngalor-ngidul,” ucapnya.
Suasana warung memang mendukung. Angin dari hutan membawa aroma tanah basah dan dedaunan, membuat pikiran terasa ringan. Dari sisi jalan, terlihat celah rimbun yang mengarah ke sumber mata air. Beberapa pengunjung menenteng botol plastik, mengisinya dengan air segar yang langsung muncul dari sela bebatuan.
Edo mengaku, ia sering membawa rekan kerjanya yang baru untuk singgah di sini. “Biar tahu ada tempat yang bikin lupa sama notifikasi. Kadang kita sampai lupa waktu, baru sadar pas hari mulai gelap,” ujarnya.
Sementara itu Rudi (39), wisatawan asal Bogor yang siang itu tengah meneguk kopi tubruk. Ia sedang dalam perjalanan menuju Pelabuhan Ratu bersama keluarganya, mobil putihnya ia parkirkan di tepi jalan.
“Kami sengaja berhenti karena lihat warungnya nyaman. Nggak ada sinyal, malah enak. Anak-anak jadi ngobrol sama kita, bukan main HP,” tuturnya sambil melirik dua anaknya yang tengah memandangi hutan.
Jalan Cisarakan ini bukan sekadar jalur alternatif menuju Cikidang dan berakhir di Cibadak. Ia adalah semacam ruang jeda dari hiruk pikuk dunia maya, sebuah lorong waktu menuju era ketika obrolan tak perlu disela dering ponsel.