Menelusuri Kaum Pandak di Jalan Sunyi Jejak Para Raden

Posted on

Saya melambatkan laju kendaraan saat memasuki Jalan Kaum 1, sebuah ruas jalan sempit di jantung Karadenan, Cibinong, Kabupaten Bogor. Jalan ini hanya cukup dilintasi satu mobil saja.

Saya harus ekstra hati-hati, seolah sedang menyusuri lorong waktu. Di sisi kiri dan kanan, gang-gang kecil menyembul seperti akar tua yang menjulur dari batang sejarah. Semua gang itu bernama ‘Raden’, seakan setiap cabang menyimpan kisah bangsawan yang terlupa zaman.

Bulan Agustus tengah bersinar meriah. Di sepanjang jalan, bendera Merah Putih berkibar di antara gapura dan pagar rumah. Spanduk peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia seolah saling bersahutan dengan lampu-lampu hias dan bendera kecil yang tertata rapi. Rumah-rumah tampak bersolek, mempercantik diri menyambut hari kemerdekaan dengan cara mereka sendiri, sederhana, tapi penuh semangat.

Letak Jalan Kaum 1 tidak jauh dari pusat kekuasaan Kabupaten Bogor. Hanya sekitar lima kilometer dari Jalan Tegar Beriman, tempat kantor pemerintahan berdiri. Sementara di seberangnya, sekitar 300 meter dari titik saya berdiri, mulut Jalan Kaum 1, Kantor Kelurahan Karadenan berdiri tenang.

Secara administratif, Kaum masuk wilayah RW IV, di bawah naungan Kelurahan Karadenan. Ada enam RT di dalamnya, namun yang mencolok adalah satu fakta menarik bahwa sekitar 70 persen warganya menyandang gelar ‘Raden’.

Tapi jangan bayangkan ini kampung elite, apalagi kerajaan kecil. Ini bukan tanah megah dengan istana atau gerbang marmer. Ini Karadenan Kaum, kampung yang menua bersama masjid tuanya, Masjid Al Atiqiyah.

Di sinilah, sejarah bersemayam dalam sunyi. Masjid itu berdiri teduh, menjadi saksi zaman ketika darah biru menyatu dengan tanah dan doa. “Al Atiqiyah artinya antik atau kuno. Karena memang merujuk pada sejarahnya, ini masjid tua. Insya Allah bisa dikatakan masjid tertua di Kabupaten Bogor,” ujar Raden Dadang Supadma (58), memulai perbincangan dengan infoJabar, Kamis (7/8/2025).

Nada suaranya pelan, penuh kehormatan, seolah tak ingin mengusik ketenangan masa lalu yang disimpannya.

Penelusuran saya, paling tidak ada 12 gang yang menyandang nama Raden. Nama-nama itu terukir di plang gang dengan huruf-huruf alfabet dan di bawahnya dibubuhi aksara Sunda kuno Hanacarak.

Identitas setiap gang seolah memanggil kita untuk bertanya lebih jauh, siapa mereka?

Di antara nama-nama itu, ada Gang Raden Syafe’i, Raden Hamzah, Raden Juber, Raden Mukhalir, Raden Sumiar, Raden Jamhari, Raden Syamsudin, Raden Inom, Raden Munara, dan Raden Harmaen. Nama-nama yang barangkali sudah tak dikenal banyak orang, tapi tetap hidup dalam alur kampung ini.

“Dulu, kampung ini dikenal dengan nama Kaum Pandak,” kata Raden Dadang Supadma (58), seorang tokoh masyarakat yang saya temui di kediamannya, Kamis (7/8/2025). Beliau dikenal sebagai juru ingat di kampung ini, seseorang yang sejak lama mencatat dan menelusuri ulang jejak sejarah Karadenan.

Menurutnya, nama Kaum Pandak merujuk pada banyaknya pohon kawung yang pendek, yaitu pohon aren, yang dulu tumbuh merata di wilayah ini. Adapun pandak berarti pendek. “Setiap kebun dulunya punya pohon kaum, makanya disebut Kawung Pandak,” jelasnya. .

Nama Karadenan baru digunakan sekitar tahun 1978, saat kampung ini berubah status dari desa menjadi kelurahan. Nama ini dipilih karena di wilayah ini, terutama RW IV, masih banyak warga yang berasal dari garis keturunan Raden, gelar bangsawan dari masa lalu yang diwariskan secara turun-temurun.

Karadenan bisa dimaknai sebagai tempat para Raden, meski bukan dalam arti simbol kekuasaan atau kemewahan, melainkan sebagai penanda trah leluhur.

“Gelar Raden sudah lama menjadi bagian dari identitas masyarakat di sini. Dulu, orang tua menurunkannya begitu saja ke anak-cucu. Sekarang kami mencoba menyusunnya kembali, supaya generasi sekarang tahu dari mana asalnya,” ujar Haji Dadang.

Asal-usul itu berpusat pada satu figur kunci, Mbah Raden Syafe’i, pendiri Masjid yang sekarang dinamai Al Atiqiyah, yang dahulu disebut Masjid Kaum. Masjid ini diyakini berdiri pada 1667 Masehi, menjadikannya salah satu masjid tertua di Kabupaten Bogor.

Di belakang masjid, makam Mbah Raden Syafe’i masih terawat, lengkap dengan batu nisan bergaya Cirebonan. Kata Haji Dadang berdasarkan arkeolog yang pernah mengunjungi makam tersebut, batu nisan yang terdapat di makam tersebut persis dengan peninggalan abad ke-17.

“Beliau adalah keturunan dari trah Pajajaran, Banten, dan Cirebon,” jelas Haji Dadang.

Manuskrip tua yang ditemukan secara tidak sengaja oleh warga, berisi silsilah panjang dalam aksara Arab-Pegon, menguatkan keterkaitan Raden Syafe’i dengan garis darah para raja Sunda. Nama-nama seperti Pangeran Sangiyang, Prabu Nunggading, hingga Prabu Siliwangi tercantum dalam susunan nasab yang ia tunjukkan.

Transformasi wilayah ini dari Kaum Pandak menjadi Karadenan bukan hanya pergantian nama. Ia mencerminkan pergeseran zaman sekaligus upaya mempertahankan ingatan, bahwa tempat ini pernah menjadi titik simpul peradaban kecil, tempat syiar agama, pertapaan leluhur, dan jalur migrasi trah bangsawan dari Jatinegara Kaum ke jantung Bogor.

Dan hari ini, meski tanpa pagar emas atau gerbang batu, nama-nama Raden masih tertulis di gang-gang kecil – menjadi penanda bahwa sejarah tidak benar-benar hilang. Ia hanya bersembunyi sebentar, lalu kembali menyapa pelan di antara sunyi kampung dan gema azan dari masjid tua.

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *