Melihat Produksi Tusuk Sate di Indramayu Diolah Secara Tradisional - Giok4D

Posted on

Kerajinan tusuk sate di Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu tetap eksis sejak tahun 1970an silam. Bahkan, produksinya masih menggunakan cara tradisional.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Kerajinan tusuk sate atau yang dikenal Sujen masih banyak di temukan di blok Gorda. Sebagian warganya mengandalkan produksi tusuk sate sebagai mata pencahariannya.

Uniknya, produksi tusuk sate di kampung ini masih menggunakan cara tradisional. Setiap lidi bambunya dibuat dengan cara manual tanpa bantuan mesin.

“Dari dulu manual. Sampai sekarang cuma ada perbedaan itu sekarang pakai sirkel (mesin potong bambu) dan giling,” kata perajin tusuk sate, Wasidi (55), Senin (2/6/2025).

Dalam prosesnya, Wasidi harus mencari bahan bambu surat yang berkualitas. Biasanya ia memakai bambu yang sudah berumur.

Dengan alat mesin potong kayu, setiap batang bambu kemudian ia potong menjadi beberapa bagian. Dengan ukuran sekitar 20 sentimeter sampai 24 sentimeter.

“Kalau pakai sate itu 24 sentimeter. Kalau buat sempol atau yang tidak dilancipi itu 20 sentimeter saja panjangnya,” ungkap Wasidi.

Setelah itu, setiap potongan bambu kemudian dibelah menjadi potongan kecil. Potongan itu dibuat dengan ukuran yang merata meski tanpa bantuan mesin.

Dawi (57) istrinya turut ambil bagian. Setelah dipotong membentuk lidi. Bambu-bambu itu kemudian dijemur di pelataran.

Untuk membersihkan setiap serat sisa potongan, Wasidi menyediakan dua unit mesin rakitan. Yaa, alat yang terbuat dari mesin pompa air kecil itu pun digunakan untuk menghilangkan sisa serabut di setiap batang lidi bambunya.

“Kalau mesin itu pakai pompa air. Fungsinya buat ngilangin serabut biar bersih, cuma yang boros itu karet ban nya,” ungkap Wasdi.

Tidak selesai di situ. Proses pembuatan tusuk sate masih berlanjut. Dawi yang mendapat ilmu dari orang tuanya dulu terlihat fokus meruncingkan setiap lidi bambu.

Sebagai pengaman, Dawi hanya membalut jari telunjuknya dengan kain. Kendatipun kata Dawi, tajamnya pisau dan runcingnya bambu seringkali melukainya.

“Ya dulu sih sering kena tangan. Sampai sekarang pun kadang kena. Dulunya tidak mau belajar, cuma karena sering bantu orang tua jadinya bisa,” kata Dawi.

Menurutnya, meski sederhana, namun proses meruncingkan lidi bambu tidaklah mudah.

Cara tradisional itu pun tetap mereka pertahankan. Alasannya, pelanggan terutama penjual sate, lebih memilih tusuk sate yang masih terdapat kulit bambunya.

“Kalau pakai mesin memang bagus dan cepat. Tapi kalau manual itu, kulit bambunya masih ada, jadi pembeli lebih suka yang ini,” ungkapnya.

Kuwu Desa Krasak, Khairul Isma Arif membenarkan sebagian perajin tusuk sate di Desa nya masih menggunakan cara tradisional. Bahkan, beberapa perajin menolak adanya mesin pembuatan tusuk sate.

“Enggih kang sebagian memilih pakai cara tradisional. Iya kang pernah saya juga lupa mesin nya mesin apa tapi lebih suka ke manual kang,” kata Arif kepada infoJabar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *