Entah darimana mulanya, nama Jampang kerap disebut dengan nada lirih cerita tentang teluh, santet, dan ilmu hitam seperti tak pernah absen dari obrolan tentang wilayah selatan Kabupaten Sukabumi ini.
Bagi sebagian orang luar, Jampang adalah tempat yang identik dengan hal berbau klenik. Bagi warganya sendiri, citra itu adalah beban panjang yang diwariskan dan mau tak mau harus dilawan.
Asep Hidayat masih ingat betul bagaimana perbincangan itu dimulai. Sekitar tahun 2014 atau 2015, ia dan sejumlah pemuda Pajampangan berkumpul, berbincang di warung, di pinggir jalan, di sela-sela kesibukan harian mereka.
“Dulu itu, kalau nggak salah, kita tuh ngumpul anak-anak pemuda Jampang, nama Jampang itu udah kadung identik sama teluh,” kenang Asep dalam perbincangan dengan infoJabar belum lama ini.
Citra itu bukan datang tiba-tiba. Di luar sana menurut Hidayat Asep, orang mengenal Jampang sebagai daerah terpinggirkan, bahkan dalam bahasa Sunda lama disebut aleu atau terbelakang. Mitos tentang teluh hanya menegaskan prasangka itu, bahwa orang Jampang sakti, kelam, dan lebih dekat ke dunia gaib ketimbang dunia nyata.
Namun Asep dan kawan-kawannya memilih jalan lain. Mereka tak ingin membalas stigma dengan kemarahan. Sebaliknya, mereka merancang perlawanan yang halus-elegan, kata Asep. Caranya? Membanjiri wacana negatif
dengan karya-karya positif.
“Ini mah harus dilawan dengan cara yang elegan, tidak harus secara sporadis. Tapi dengan cara mengkampanyekan hal-hal positif dulu,” ujarnya.
Mereka mendirikan komunitas Discover Jampang, membagi peran secara kolektif. Ada yang mengangkat potensi wisata, ada yang mempromosikan pangan lokal seperti hanjeli, ada juga yang bergerak di jalur industri kreatif membuat kaos, opak, hingga media lokal.
Asep sendiri memilih jalur pangan. Ia membaca literatur tentang hanjeli-biji-bijian yang konon sudah ditanam sejak tiga hingga lima abad lalu, ditanam di pinggiran ladang padi huma. Tanaman ini nyaris punah, dan Asep ingin membawanya kembali ke panggung sejarah.
“Saya coba angkat dari perspektif hanjeli itu pangan lokal biar tidak dilupakan,” katanya. “Bukan hanya sejarahnya yang panjang, tapi ini juga soal identitas kita sebagai orang Jampang,” imbuh dia.
Ia pun membuka jalur wisata edukasi, memetakan air terjun di setiap kecamatan, hingga mengenalkan potensi Geopark Ciletuh. Media nasional seperti Trans TV dan Trans7 diajak hadir bukan untuk meliput teluh, tapi untuk mengabadikan keindahan Jampang.
Alhasil pada tahun 2023 jerih payah pria bernama lengkap Asep Hidayat Mustopa, yang akrab disapa Abah Asep itu meraih penghargaan Kalpataru 2023 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia dalam kategori Perintis Lingkungan.
Penghargaan ini diberikan atas dedikasinya dalam mengembangkan Desa Wisata Hanjeli di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
“Dari yang dahulu termarjinalkan, Pajampangan perlahan bangkit melawan dengan karya dengan apa yang kami bisa,” tuturnya.
Namun tidak semua cerita perlawanan dibangun dari senyum dan semangat. Beberapa lahir dari luka masa lalu seperti yang dialami Agis Prayudi.
Ia tumbuh di Kampung Sukatengah, Desa Purwasedar, Kecamatan Ciracap. Dan di usia yang masih sangat belia, ia menjadi saksi bisu dari satu peristiwa yang mengubah hidupnya.
“Saya masih kecil, usia sekitar lima atau enam tahun,” kenangnya pelan. “Seorang anggota Satpol PP bernama Ki Baedi dibunuh dengan sadis setelah salat Jumat. Dituduh tukang santet,” tutur Agis.
Tubuh korban tergeletak di lantai masjid, darah menggenangi keramik. Seluruh kampung gempar. Agis kecil tak diizinkan keluar rumah selama berhari-hari. Sejak saat itu, kata ‘santet’ tak lagi terdengar seperti dongeng. Ia menjadi teror nyata.
Tragedi itu menancap dalam. Dan ketika Agis dewasa, ia tahu satu hal, stigma tentang Jampang bukan sekadar cerita turun-temurun. Ia bisa menyulut kebencian, bahkan pembunuhan.
Di banyak kesempatan, ketika ia memperkenalkan diri sebagai orang Jampang, responsnya hampir selalu sama:
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
“Wah, dari Jampang? Itu kan tempat santet,” cerita Agis menirukan ucapan orang-orang yang memandang wilayah asalnya.
Agis memilih untuk tidak larut dalam amarah. Ia mendirikan sebuah startup bernama Jekdes, untuk membangun citra baru Jampang di dunia digital. Platform ini mengenalkan potensi desa, menjembatani masyarakat dengan pasar, dan menegaskan satu hal, bahwa orang Jampang juga bisa unggul dalam teknologi.
“Menurut saya stigma ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Sudah saatnya kita membangun citra baru untuk daerah kita,” ujarnya.
Perjuangan Asep dan Agis mungkin berbeda jalur yang satu lewat wisata dan kuliner, yang lain lewat teknologi tapi tujuan mereka sama yakni membebaskan Jampang dari stereotip kelam.
Perubahan memang tak bisa instan. Mereka sadar butuh sinergi, infrastruktur, kerja sama lintas daerah, dan dukungan pemerintah. Tapi bagi mereka, inilah jihad masa kini: bukan melawan musuh di luar, tapi menghadapi stigma yang sudah terlalu lama bertahan.
“Teluh itu hanya sebagian kecil dari keresahan kami. Kami orang Jampang, dan kami punya hak untuk menentukan arah cerita kami sendiri,” ujar Agis.
Sebab Jampang bukan tentang ketakutan, bukan tentang ilmu hitam. Jampang adalah tentang alam yang indah, sejarah yang panjang, dan pemuda-pemuda yang menolak diam. Pemuda-pemuda yang memilih menulis ulang takdir mereka dengan tinta kerja nyata.
“Namun tentu, membangun citra baru daerah juga harus didukung oleh infrastruktur, akses jalan yang memadai dan peran aktif pemerintah serta masyarakat. Saya percaya, jika kita bisa mengangkat potensi lain dari Jampang secara konsisten, lambat laun kita akan berhasil menghapus stigma lama yang membelenggu,” pungkasnya.