Wajah was-was tampak dari raut wajah Masruroh (57), kala hilir mudik di sepanjang Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Sesekali, ia menawarkan jasa pemotretan langsung cetak kepada para wisatawan.
Namun, penolakan kerap datang. Geleng kepala dan angkat tangan menjadi isyarat yang menyakitkan. Kata ‘iya’ dari calon pelanggan menjadi respons paling membahagiakan bagi Masruroh.
Sejak 1998, warga asli Pananjung, Kabupaten Pangandaran ini telah menekuni profesi sebagai fotografer wisata. Berbagai jenis kamera telah ia kuasai, mulai dari kamera poket, Kodak SLR, hingga DSLR.
“Sudah mulai sejak krisis moneter 1998, waktu itu saya pulang merantau dari Jakarta dalam kondisi menganggur,” ujar Masruroh saat berbincang dengan infoJabar, Senin (2/6/2025).
Melihat potensi wisata Pangandaran yang ramai pengunjung, ia pun bergabung dengan paguyuban fotografer lokal yang saat itu sudah ada. Sebelumnya, Masruroh sempat bekerja sebagai pemandu wisata dan mulai tertarik dengan dunia fotografi ketika berinteraksi dengan turis asing.
“Saya bisa sedikit bahasa asing, jadi dekat dengan wisatawan luar negeri. Kamera pertama saya malah diberi oleh turis bule merek Konica,” kenangnya.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Masruroh juga mengaku terinspirasi dari wisatawan Belanda yang pernah ia antar. “Dulu kamera itu harganya mahal banget, sekitar Rp 9 juta. Saya sempat punya kamera Pentax, lebih tinggi kelasnya dari Fuji,” ujarnya .
Ia bahkan sempat mengikuti kursus fotografi selama tiga bulan di Jonas Bandung. Setelah itu, ia aktif dalam organisasi fotografer wisata Pangandaran.
Pada masa kejayaannya, Masruroh mampu menopang perekonomian keluarga dari hasil memotret. “Dulu tarif per foto cuma Rp1.500 per cetak. Sekarang ukuran 6R bisa Rp20.000,” jelasnya.
Rata-rata dalam sehari ia bisa mendapatkan 25 pelanggan. “Cukup buat kebutuhan rumah tangga. Dari profesi ini bisa beli rumah dan menyekolahkan anak-anak. Anak saya ada tiga laki-laki, satu perempuan, semua bisa kuliah,” katanya.
Namun kini, tantangan besar datang dari kemajuan teknologi. “Kami kalah cepat. Semua serba digital, kirim file langsung ke HP,” ungkapnya.
Meski begitu, Masruroh masih memiliki pelanggan setia, terutama yang menginginkan cetakan fisik. “Masih ada yang mau dicetak, apalagi kalau untuk foto estetik. Saya tarif paket 12 foto bisa Rp150 ribu,” jelasnya.
Saat pandemi COVID-19, usahanya sempat kolaps total. “Tahun 2020 benar-benar sepi. Untung masih punya sawah di kampung. Jadi masih bisa makan karena beras tak usah beli,” katanya.
Baru pada tahun 2022, ia mulai kembali beroperasi perlahan-lahan. Hingga bangkit kembali dan masih ada yang setia menggunakan jasanya. Meski zaman berubah, Masruroh tetap setia dengan profesi yang sudah dijalaninya puluhan tahun. “Masih bertahan mau apalagi kalo sudah gini, syukuri alhamdulillah,” katanya.