Hujan deras seringkali dimaki sebagai pembawa bencana. Di pengungsian korban banjir, air melimpah sebagai genangan cokelat yang membawa penyakit, sementara untuk seteguk air minum, para pengungsi harus menengadahkan tangan menunggu bantuan, menunggu truk bantuan yang kerap terhambat akibat akses terputus.
Kondisi inilah yang mendorong Simon Yudistira Sanjaya (61), lulusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan yang tinggal di Kompleks Rajawali Plaza, Jalan Rajawali Timur No.10, Bandung, tidak lagi melihat hujan sebagai musuh. Sebaliknya, ia melihat air hujan sebagai jawaban atas krisis air yang menghantui negeri ini.
“Banjir di mana-mana, tapi pengungsi kena penyakit kulit karena tidak ada air bersih. Itu ironis,” ujar Simon saat ditemui infoJabar, Kamis (18/12/2025).
Keresahan itu melahirkan inovasi ‘Tenda Pemanen Air Hujan’ (Rainwater Harvester Tent), sebuah inovasi warga Bandung untuk mendapatkan sumber air bersih di tengah bencana.
Inovasi ini tidak muncul di laboratorium canggih , melainkan dari bengkel kerja Simon. Momen kuncinya terjadi saat gempa Cianjur menghancurkan ribuan rumah. Simon menyaksikan pola berulang dalam setiap manajemen bencana di Indonesia: tenda pengungsian berdiri, namun akses sanitasi dan air bersih selalu menjadi mimpi buruk.
“Waktu gempa Cianjur, pengungsi kesulitan air. Saya berpikir, kenapa tenda pengungsian tidak diatur sedemikian rupa supaya bisa memanen air hujan?” ucap Simon. Ia menyadari bahwa selama ini tenda darurat hanya berfungsi sebagai atap peneduh, membiarkan air hujan terbuang percuma ke tanah yang becek.
Simon tidak bekerja dengan mesin canggih. Ia pernah membuat inovasi memanfaatkan air hujan yang mengalir di atap rumahnya untuk ditampung di tangki dan bak air. Berbekal pengalaman panjang memanen air hujan untuk kebutuhan pribadi, Simon memodifikasi struktur tenda konvensional. Ia mengandalkan bengkel las langganannya, merancang rangka besi khusus yang berfungsi sebagai talang air.
Berbeda dengan tenda biasa yang gelap dan pengap, atap tenda ciptaannya dilengkapi mika transparan untuk penerangan alami. Air hujan yang jatuh ke atap tidak dibuang, melainkan dialirkan melalui filtrasi sederhana namun efektif lalu dialirkan masuk ke dalam toren penampungan, sehingga air hujan siap digunakan untuk mandi bahkan diolah menjadi air minum.
Perjalanan Simon meyakinkan masyarakat bahwa air hujan layak konsumsi bukanlah jalan yang mulus. Ia telah meminum air hujan yang diolah sendiri, memutus ketergantungan pada air tanah di daerah tempat tinggalnya yang tinggi zat besi dan berwarna kuning. Selain itu, masih banyak anggapan bahwa air hujan itu asam, kotor, atau merusak gigi. Namun, Simon membantahnya dengan data dan pengalamannya.
“Sudah ada penelitian, pH air hujan di Indonesia itu normal, tidak asam seperti di negara industri. Saya sendiri sudah meminum air hujan,” tegasnya.
Mekanisme kerja alat pengolah air hujan milik Simon terbilang cerdas dalam kesederhanaannya. Kunci utamanya ada pada sistem pembuangan awal.
Sepuluh menit pertama saat hujan turun, air tidak langsung ditampung, melainkan dibuang melalui sistem perpipaan yang mengalir ke tempat pembuangan. Tujuannya adalah membuang debu dan polutan yang menempel di genteng atau atap tenda.
Setelah atap terbilas bersih, barulah air dialirkan masuk ke filter dan penampungan. Hasilnya air jernih dengan Total Dissolved Solids (TDS) atau total padatan terlarut rendah, berkisar antara 0-50 ppm. Angka ini jauh lebih murni dibandingkan air tanah di kawasan Rajawali, Bandung, yang memiliki TDS 100-400 ppm dan kerap berwarna kuning akibat kandungan zat besi tinggi.
Kualitas air hasil olahan alat Simon telah diuji. Air tersebut telah dinyatakan memenuhi standar baku mutu berdasarkan hasil uji Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bandung.
Dampak inovasi ini telah dirasakan di lingkup lokal. Universitas Bale Bandung (Unibba) menjadi institusi pendidikan pertama yang mengadopsi sistem ini sejak 2018. Jejaknya diikuti oleh SMAN 2 Padalarang, SD Marhas di Koposayati, hingga berbagai rumah pribadi di Bandung dan Jakarta.
Simon juga menjelaskan delapan manfaat dari praktik memanen air hujan yang ia tekuni.
“Manfaatnya nyata. Hemat uang, mencegah penurunan muka tanah, mencegah banjir, siaga kebakaran, air hujan bagus untuk pertanian, air hujan adalah salah satu sumber air bersih, dan airnya lebih sehat,” jelasnya. Ia membuktikan sendiri, ginjalnya terasa lebih bersih dan tubuhnya lebih bugar meski di usia senja.
Di tengah ancaman krisis iklim dan bencana, Simon Sanjaya hadir menawarkan solusi logis. Ia tidak meminta tepuk tangan, ia hanya ingin melihat para pengungsi tidak lagi kekurangan air bersih di tengah hujan lebat yang mengakibatkan banjir.
“Air hujan ini buatan Tuhan, sumber daya alam gratis yang kita sia-siakan. Daripada jadi bencana banjir, lebih baik kita panen,” pungkasnya.
Simon Sanjaya adalah seorang warga dan praktisi lapangan yang inovasinya lahir dari observasi masalah sehari-hari. Selain Tenda Pemanen Air Hujan, ia telah menciptakan sekitar 30 inovasi lain, mulai dari rompi anti senjata tajam, korset pelindung anti pelecehan seksual bagi wanita, hingga helm terapi anti ngantuk untuk mencegah kecelakaan lalu lintas.
Meski telah menciptakan lebih dari 30 inovasi tersebut, fokus Simon pada air hujan adalah misi kemanusiaan terbesarnya. Ia juga tergabung dalam komunitas aktivis pemanen air hujan di seluruh Indonesia.
Konsistensinya dalam berkarya untuk masyarakat inilah yang menarik perhatian dunia internasional. Dedikasi panjang Simon dalam melahirkan inovasi tepat guna akhirnya mendapat pengakuan global. Pada 24 Mei 2024, Simon resmi menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa di bidang Humanity and Human Rights dari Instituto Educando Para A Paz, Brasil.
Gelar ini bukan tanpa alasan. Institusi yang berbasis di Brasil tersebut menyoroti kontribusi nyata Simon dalam menciptakan alat-alat yang berfokus pada keselamatan dan kesejahteraan manusia. Hal ini tercermin dari deretan invensinya, mulai dari rompi dan jaket anti-sajam untuk keamanan, hingga inovasi kesehatan seperti kabin pasien Covid-19 dan pemurni udara anti-virus.
Di usianya yang menginjak kepala enam, Simon Sanjaya terus bergerak dalam sunyi. Ia membuktikan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari kebijakan besar, tetapi bisa dimulai dari talang air di atap rumah dan kepedulian tulus terhadap sesama. Air hujan baginya bukan sekadar H2O atau air biasa, melainkan air langit yang membawa berkah kehidupan.
Penulis adalah peserta magangHub Kemenaker
