Di usianya yang sudah menapaki 73 tahun, langkah Akim masih tegap mengarah ke Lapangan Tegar Beriman, Cibinong. Bukan untuk mencari tanda jasa, bukan pula untuk sebuah penghargaan. Setiap 17 Agustus, sejak ia pensiun mengajar pada 2012 silam, ia tetap hadir mengikuti upacara info-info Proklamasi Kemerdekaan RI.
Akim, yang mulai mengabdi sebagai guru sejak 1978, tampak sederhana dengan kemeja putihnya. Dari rumahnya yang hanya berjarak sekitar tujuh kilometer dari rumahnya di Bojonggede ke kompleks kantor Bupati Bogor, ia memilih berjalan kaki. Baginya, langkah itu adalah ziarah kecil, sebuah penghormatan pada merah putih yang tak pernah pudar dari hatinya.
“17 Agustus itu tanggal yang istimewa bagi bangsa Indonesia. Hari itu bangsa kita resmi menjadi merdeka,” ucapnya.
Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan ke-80 tahun, sosok Akim mengingatkan kita pada sebutan lama, guru tanpa tanda jasa.
Sebuah istilah yang dulu begitu melekat, meski hari ini barangkali terdengar usang. Namun, pada diri Akim, ungkapan itu menemukan artinya kembali.
Akim tak pernah menuntut pamrih. Kehadirannya di upacara hanyalah tanda bahwa pengabdian sejati tak berhenti ketika pensiun datang.
“Pesan saya satu, isi kemerdekaan ini dengan membangun manusia. Jangan sampai bangsa kita tertinggal dari bangsa lain. Itu warisan yang harus kita jaga dari para pejuang,” katanya menutup.
Di lapangan yang sama, Bupati Bogor Rudy Susmanto bertindak sebagai inspektur upacara. Namun di antara barisan peserta, ada Akim yang berdiri tegak, menjadi saksi betapa cinta tanah air bisa dirawat oleh siapa saja, bahkan oleh seorang pensiunan guru yang tetap setia, tanpa tanda jasa.