Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mulai menimbulkan dampak serius di sektor perhotelan di Jawa Barat.
Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad, mengungkapkan bahwa ribuan pekerja hotel berisiko kehilangan pekerjaan apabila tidak ada pelonggaran kebijakan hingga semester dua tahun ini.
“Kalau berkepanjangan tidak ada perubahan kelonggaran dari pemerintah, kemungkinan akan terjadi PHK 10-30 persen,” ujar Dodi saat dikonfirmasi, Selasa (27/5/2025).
Menurut Dodi, situasi itu tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tetapi juga melanda hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun hingga saat ini, Dodi menyebut memang belum terjadi gelombang PHK besar-besaran di sektor perhotelan.
Meski begitu, tekanan terhadap industri perhotelan sudah sangat terasa. Sejumlah hotel di Bogor dan Depok dilaporkan tutup operasional, sementara sebagian besar hotel di daerah lain mulai melakukan efisiensi tenaga kerja.
“Di Jawa Barat (hotel) yang sudah tutup ada di Bogor 2, Depok 1 yang lainnya belum ada kabar. Kemudian pegawai harian tidak diperpanjang, tidak ada pekerjaan harian, kemudian karyawan sekarang di shift, satu minggu kerja satu minggu libur,” jelasnya.
“Kalau PHK belum ada di Jabar, baru hotel yang tutup di Depok dan Bogor. Di Bandung juga daerah lain belum ada. Hanya ada pengaturan jadwal pekerjaannya,” sambungnya.
Kondisi ini berdampak langsung pada penghasilan karyawan. Banyak dari mereka yang bersedia menerima pemotongan gaji hingga 50 persen demi tetap bisa bekerja.
“Memang tidak ada di aturan tenaga kerja cuma kan apakah mau seperti itu, ya mereka mau siapa tau nanti ada perubahan lagi kan ke semula. Dikurangi hampir 50 persen, dari pada tidak kerja lebih baik yang ada aja, mudah-mudahan semester dua ada perbaikan,” ungkapnya.
Efisiensi ini juga berkaitan erat dengan merosotnya tingkat hunian kamar hotel. Berdasarkan data dari 18 BPC PHRI di Jawa Barat, tingkat okupansi hotel secara rata-rata hanya mencapai 42 persen sejak Januari hingga Mei 2025.
Kota Bandung, sebagai pusat utama industri perhotelan Jabar, mengalami kondisi serupa. Padahal dalam periode yang sama di tahun sebelumnya, okupansi hotel di Jabar ada di angka 80-82 persen setiap bulan.
“Kalau dirata-rata sekarang itu 42 persen secara akumulatif per bulan dari bulan Januari sampai Mei. Untuk hotel bintang di Bandung itu 52 persen, kalau hotel melati 32 persen. Jika dijumlah 84 persen, dibagi dua 42 persen rata-rata di Bandung,” ujar Dodi.
Dodi menuturkan, salah satu kontributor utama penurunan ini adalah kebijakan pembatasan perjalanan dinas instansi pemerintah hingga 50 persen. “Untuk hotel bintang 3-5, kegiatan pemerintah itu biasanya menyumbang hampir 40 persen dari total okupansi,” ucap dia.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya kegiatan pemerintahan, tapi juga dari sektor lain seperti travel agent dan perusahaan swasta. Menurunnya daya beli masyarakat akibat meningkatnya PHK di berbagai sektor juga ikut memperparah keadaan.
“Sekarang kebanyakan orang hidup dengan konsep Mantab, makan tabungan. Jangankan untuk wisata, untuk hidup saja sulit,” kata Dodi.
Dari total 770 hotel anggota PHRI di Jawa Barat, hanya sekitar 454 yang masih aktif saat ini. Jumlah kamar dari hotel melati hingga bintang lima yang masih beroperasi mencapai 40.600, dengan jumlah karyawan aktif sekitar 26.600 orang.
PHRI Jawa Barat berharap pemerintah memberikan pelonggaran anggaran pada semester dua untuk membangkitkan kembali sektor perhotelan dan ekonomi daerah secara umum.
“Harapan kami ada pelonggaran kaitan kegiatan pemerintah, supaya ekonomi berjalan lagi. Jadi kalau ada kegiatan pemerintah ekonomi berjalan, semua sektor ikut terbantu tidak hanya di hotel, tapi semua bidang,” tutup Dodi.