Musik dan lagu kini tak bisa lagi disetel sembarangan. Biasanya di kafe-kafe, restoran, serta tempat publik lainnya selalu diputar demi memanjakan telinga pengunjung meskipun belum tentu satu selera.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Namun belakangan, ramai dibahas soal kafe, restoran, dan tempat lainnya wajib membayar royalti jika memutar lagu dan musik seorang musisi. Buntutnya ada sebuah restoran cepat saji di Bali yang digugat dan disanksi wajib membayar royalti gegara memutar lagu tanpa izin.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga menelurkan pernyataan yang bikin publik kian mengernyitkan dahi, sebab memutar lagu nasional bahkan suara alam juga wajib membayar royalti.
Salah satu lagu nasional yang selalu bergema dalam segala situasi dan di segala tempat yakni Indonesia Raya. Lagu kebangsaan gubahan Wage Rudolf Soepratman. Disinggung soal royalti, pihak keluarga menyebut pernah menerima uang royalti, namun sudah sangat lama.
“Soal itu (royalti), keluarga dapatnya di zaman Bung Karno yang memberikan kepada ahli waris. Waktu itu jatuh kepada kakak dan adik kandungnya WR Sopratman,” kata perwakilan keluarga sekaligus pengurus Yayasan WR Soepratman, Budi Harry saat dikonfirmasi, Sabtu (9/8/2025).
Kala itu, kata Budi, keluarga menerima royalti yang diberikan Presiden Soekarno sebesar Rp250 ribu. Namun tahun-tahun berlalu, keluarga tak lagi menerima apa yang mereka dapatkan seperti dari Sang Proklamator.
“Keluarga ahli waris pada saat itu mendapatkan Rp 250 ribu sekitar tahun 1958. Tapi ya hanya sekali di zaman Bung Karno saja,” kata Budi.
Kendari demikian, keluarga besar WR Soepratman sama sekali tak mempermasalahkan soal royalti seperti yang sekarang sedang ramai dipersoalkan banyak musisi dan pencipta lagu.
“Sebetulnya kita juga tidak mempermasalahkan royalti karena dengan ciptaan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kita sudah bangga sebagai keluarganya. Jadi kita enggak perlu memikirkan ekonominya lagi,” ujar Budi.
Terlebih saat ini lagu kebangsaan Indonesia Raya, menjadi public domain. Artinya bebas diputar dimana saja, kapan pun, dan oleh siapa saja. Tentunya dengan syarat tak boleh mengubah nada, aransemen, dan lirik lagu tersebut.
“Sebetulnya karena sudah menjadi public domain, itu (royalti) diganti namanya menjadi dana apresiasi. Tapi kami harus bersuara, bahwa sebelum public domain, keluarga cuma sekali menerima royalti itu di zaman Bung Karno,” ujar Budi.
WR Soepratman sendiri merupakan tokoh nasional yang memiliki latarbelakang sebagai komponis kenamaan. Maka tak heran ia bisa menciptakan lagu kebangsaan yang kelak menjadi pembangkit dan pembakar semangat jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia.
Sebagai komponis masyhur, pria kelahiran 9 Maret 1903 itu mengawali penciptaan lagu kebangsaan kala membaca sebuah tulisan di majalah Timbul, tahun 1924 silam. Di majalah itu, ada sayembara berbunyi ‘Dicari Warga Negara Kita yang Bisa Membuat Lagu Kebangsaan’.
Seolah tertantang, di usianya yang baru menginjak 21 tahun, Soepratman muda mulai menuangkan kebisaannya. Komposisi musik dan lirik semuanya merupakan hasil karya Soepratman.
“Dari situ beliau terpanggil untuk membuat karya bagi bangsa. Pelan-pelan komposisi lagu mulai lirik dan musiknya dibuat. Nah tahun 1926 sebetulnya lagu itu sudah diperdengarkan, tapi belum sempurna,” ujar Budi.
Lagu itu kemudian mendapat beberapa kali revisi hingga disempurnakan pada 1928. Lagu original Indonesia Raya versi 1 terdiri dari tiga stanza. Lagu itu pertama kali diperdengarkan secara luas pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 silam.
“Sampai Kongres Pemuda kedua, baru diperdengarkan yang sudah sempurna jadi enggak ada perubahan lagi. Perubahannya itu di lirik ‘merdeka’ yang diubah jadi ‘mulia, karena dulu kan dilarang Belanda. Akhirnya disamarkan liriknya,” tutur Budi.
Setelah dinyanyikan tahun 1928 di hadapan para peserta Kongres Pemuda kedua dengan biolanya, lagu itu dengan cepat menjadi populer dan banyak dinyanyikan pada acara-acara penting. Hingga pada tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan lagu itu di depan umum.
“Jadi kita inginnya yang 3 stanza juga dikenal masyarakat. Saat ini saya berusaha mau menggaungkan supaya versi aslinya dikenal dan diketahui generasi muda yang akan datang,” tutur Budi.