Kisah Supendi, Tukang Delman di Sukabumi yang Sekolahkan Anak hingga S2

Posted on

Di tengah keramaian pesisir Cisolok yang berubah menjadi lautan manusia pada perayaan Hari Nelayan 2025, seorang pria berikat kepala khas Sunda tampak menuntun seekor kuda yang dihias megah.

Ia tak duduk di atas delmannya. Supendi, nama pria itu, memilih berjalan kaki di depan, memegang kendali kudanya dengan langkah perlahan.

Di atas kereta yang dipenuhi bunga dan kain-kain emas, duduklah sepasang tokoh pawai, Putri Nelayan dan Raja Nelayan. Keduanya melambaikan tangan ke arah warga yang memadati pinggir jalan.

Supendi (56), warga Kecamatan Simpenan, bukan sekadar pemilik delman. Ia adalah pemandu perjalanan, simbol ketekunan yang tak pernah berhenti, meski waktu dan keadaan telah banyak berubah.

“Delmannya sudah dihias sama panitia. Kursinya cuma cukup buat ratu dan raja. Saya cuma jalan kaki dari depan, memandu kudanya,” ujar Supendi kepada infoJabar, Kamis (10/7/2025).

Biasanya, ia berada di belakang. Duduk memegang kendali, mengayun cambuk, mengantar penumpang dari satu titik ke titik lain. Namun kali ini, ia memberi panggung itu untuk yang lain. Dalam kesederhanaan sikapnya, tersimpan martabat yang tak luntur dimakan zaman.

Supendi memulai hidup sebagai penarik delman sejak tahun 1990 di Palabuhanratu. “Saya dulu itu sampai punya tiga delman. Saya narik pagi, siang, dan sore, semua jalan bergantian,” kenangnya.

Sekali menarik delman, ia dibayar Rp 3 ribu. Kecil, tapi cukup untuk hidup layak. Ia bisa menabung, membeli tanah, dan yang paling ia banggakan menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku kuliah.

“Bisa nyekolahin anak sampai kuliah, sampai S1 dan S2, dua anak,” katanya.

Anak sulungnya menyelesaikan pendidikan sarjana. Anak keduanya meraih gelar magister. Sementara si bungsu, seorang perempuan, memilih tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Kalau yang anak perempuan terakhir enggak mau kuliah, ya sampai SMA saja,” ujarnya.

Kini, hidup Supendi tak seperti dulu. Di Palabuhanratu, penarik delman tinggal menghitung jari. Ia pun kini hanya tinggal berdua dengan anak bibinya. Anak-anaknya telah berkeluarga dan menetap di tempat lain. Ia memiliki empat cucu, yang disebutnya dengan nada bangga.

Pendapatan pun berubah drastis. “Sekarang penghasilan kadang kalau ngantar ke pasar cuma Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Tapi kadang juga enggak ada. Kalau dipaksakan, nol kalau sekarang,” tuturnya.

Supendi tak menyerah. Setiap hari ia tetap turun ke jalan, membawa kudanya ke Palabuhanratu. Sesekali, ia menyewakan kuda tunggangannya di Pantai Batu Bintang setiap akhir pekan. Jika beruntung, seperti di Hari Nelayan ini, delmannya bisa disewa hingga Rp 1 juta per hari.

“Saya dari semalam menginap di sini dari kemarin, di pinggir pantai,” ujarnya.

Kini ia hanya punya satu ekor kuda. Delman yang dahulu alat utama mobilitas masyarakat pesisir perlahan tergusur oleh kendaraan atau angkutan umum bermotor. Namun Supendi bertahan. Ia masih sering menyewakan delmannya untuk hajatan dan acara khitanan.

“Hari ini delman dihias oleh panitia Hari Nelayan. Kalau hari biasa kadang juga sering disewa buat acara khitanan, semacam karnaval atau arak-arakan pakai delman,” katanya.

Tak banyak yang tahu, pria kurus yang berjalan kaki di bawah terik matahari itu pernah mengantarkan dua anaknya menggapai pendidikan tinggi. Semua ia lakukan dengan ketekunan, dengan peluh di jalanan berdebu, dan keyakinan bahwa kerja keras selalu menemukan jalannya.

Hari itu, di antara terik mentari dan ribuan pasang mata, Supendi tetap tegak memandu kudanya. Seorang ayah yang setia menapaki jalan hidupnya langkah demi langkah seperti dulu ia menyusuri jalanan Palabuhanratu, ditemani seekor kuda yang masih setia menemaninya.

“Alhamdulillah, saya percaya Gusti Allah mengantarkan rezeki untuk umatnya yang mau berusaha. Rezeki pasti selalu ada, asalkan kita mampu menempa semuanya dengan keikhlasan dan semangat meraih rezeki,” pungkasnya.