Saat perempuan lain seusianya sibuk berkutat dengan pekerjaan kantoran atau urusan rumah tangga, Regina Ramadhanti (27) justru memilih jalan yang tak lazim. Ia menjadi debt collector di kawasan Cililin dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.
Setiap hari ia menempuh belasan kilometer, mengetuk pintu demi pintu, menagih cicilan kendaraan bermotor yang tertunggak. Namun bukan hanya tantangan medan dan tekanan target yang dihadapinya.
Dalam perjalanan kariernya sebagai kolektor, Regina pernah bersinggungan dengan kelompok LSM yang bertindak arogan, bahkan sampai membahayakan keselamatannya.
Regina tak akan pernah lupa hari ketiga ia resmi turun ke lapangan sebagai debt collector di awal Januari 2025. Kala itu ia tengah mengejar salah satu debitur yang menunggak cukup lama.
Data penagihan menunjukkan motor nasabah sudah tidak ada di tangan pemilik asli. Namun Regina tetap berusaha menjalin komunikasi. Bukannya menyelesaikan masalah, pertemuan itu justru berubah menjadi insiden kekerasan.
“Kirain itu pemegang unit, padahal memang LSM. Karena mungkin akunya terlalu polos, LSM-nya ngajak ketemu, malah akunya yang nyamperin,” kata Regina saat berbincang dengan infoJabar belum lama ini.
“Ada cekcok di situ, terus sempat kepala juga dipukul pakai botol,” imbuhnya mengingat kejadian itu.
Peristiwa itu langsung menyebar di lingkungan sekitar, dan yang paling terpukul adalah keluarganya. Orang tua Regina sempat mendesaknya untuk berhenti bekerja.
“Kaget sih. Kalau keluarga lebih ke khawatir, apalagi ya orang tua. Mereka juga bilang buat nyari kerjaan yang lain,” tuturnya.
Namun bagi Regina, pilihan hidup ini bukan soal suka atau tidak suka. Ia sudah lama berkecimpung di dunia leasing dan pembiayaan. “Posisinya memang udah dari dulu kerjanya seputar leasing dan motor, mungkin udah di situ gitu passion-nya,” ujarnya.
Meskipun insiden dengan LSM tidak terjadi setiap saat, Regina tahu bahwa risiko itu akan selalu ada. Karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan kolektor mencapai target, Regina tidak bisa begitu saja menghindar dari nasabah bermasalah.
“Kalau misalkan kita lihat hutang pokoknya masih besar ke perusahaan, pasti kita mengupayakan gimana caranya utang ini masuk, angsurannya masuk,” jelasnya.
Regina bukan tipe penagih yang mengandalkan ancaman. Ia tahu betul bahwa pendekatan manusiawi justru lebih efektif. Ia mengikuti SOP penagihan yang mengedepankan dialog. Sayangnya, tidak semua nasabah bisa diajak berdialog.
“Memang dari awal kunjungan kita menanyakan dulu alasannya, terus unitnya di mana. Kalau bisa dinegosiasikan, ya kita ajak ngobrol,” ucapnya.
“Kadang nasabah tuh lebih ingin dimengerti, tanpa mereka ngerti juga pekerjaan kita. Mereka masih pengen ada waktu buat telat, tapi kita juga di sisi lain takut unit yang dipegang nasabah ini ketarik sama tim sweeping,” katanya.
Baginya, kolektor di lapangan seperti sedang berpacu dengan waktu, berusaha menyelamatkan nasabah agar unitnya tidak ditarik oleh pihak ketiga yang kadang mengenakan biaya tambahan.
“Kalau misalkan ke kolektor, mereka cukup bayar angsurannya. Kalau telat beberapa bulan, mampunya sebulan ya mangga. Kita negosiasi,” ujarnya.