Nama Kiai Muhammad Santri atau yang lebih dikenal sebagai Eyang Santri, tokoh lokal asal Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, kini kembali mencuat. Sosok ulama sufi sekaligus pejuang anti-kolonial itu resmi masuk dalam daftar kajian Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Sukabumi untuk diusulkan sebagai Calon Pahlawan Nasional (CPN).
Eyang Santri bukan sekadar tokoh agama. Jejaknya menembus lintasan sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, mulai dari masa Perang Diponegoro, pembinaan tokoh-tokoh pergerakan pra-kemerdekaan, hingga perannya dalam mendukung lahirnya Sumpah Pemuda.
Lalu, bagaimana kisah hidup dan perjuangan Eyang Santri hingga dinilai layak menyandang gelar pahlawan nasional?
Mengutip buku Sufisme Jawa: Ajaran Martabat Tujuh Sufi Agung Mangkunegaran Kiai Muhammad Santri karya Ali M Abdillah, Eyang Santri merupakan cucu dari Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said), pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Ia memiliki trah langsung dengan Mangkunegaran dan juga garis keturunan ulama.
Eyang Santri lahir pada 1771 dan wafat pada 31 Mei 1929. Ia memiliki gelar Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Jayakusuma, dengan nama kecil Soelija.
Darah perjuangan dan spiritualitas mengalir kuat dalam dirinya. Ibunya, Raden Ayu Trikusuma, merupakan putri Raden Tumenggung Cakraningrat IV yang juga dikenal sebagai Syekh Abdurrahman. Sementara ayahnya, Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Prabumijaya, adalah putra Pangeran Sambernyawa.
“Darah yang mengalir dalam diri Kiai Santri adalah darah para sufi dan pejuang yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme,” demikian tertulis dalam buku tersebut.
Sejak muda, Eyang Santri dikenal memiliki sikap anti-kolonial dan keberanian menghadapi kekuasaan Belanda. Sikap itu tumbuh bukan hanya karena latar keturunan, tetapi juga dari perjalanan spiritual dan intelektualnya.
Salah satu perlawanan awal yang melibatkan Eyang Santri adalah Peristiwa Babad Pakepung pada Oktober-Desember 1790. Peristiwa ini dipicu pengangkatan sejumlah kyai dan santri, termasuk Eyang Santri, sebagai abdi dalem Kasunanan Surakarta.
Pengangkatan itu membuat kebijakan Sunan Paku Buwana IV semakin bercorak Islami. Kondisi tersebut memicu kecurigaan Belanda yang menilai keberadaan para ulama sebagai ancaman serius terhadap kekuasaan kolonial.
Belanda kemudian mengutus Jan Greeve, Gubernur dan Direktur Java’s Noord en Oostkust, untuk menekan Paku Buwana IV agar menyerahkan para ulama yang dituduh menyebarkan kebencian terhadap Belanda.
Dalam situasi genting itu, Paku Buwana IV melakukan siasat dengan menyerahkan para pesakitan sebagai pengganti ulama. Namun, demi keselamatan para penasihatnya, Paku Buwana IV menyarankan agar mereka, termasuk Eyang Santri, meninggalkan Surakarta dan mengembara.
Perlawanan Eyang Santri berlanjut dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Perang besar ini dipicu konflik pematokan tanah tanpa izin oleh Belanda yang melukai harga diri Pangeran Diponegoro.
Kesamaan pandangan tentang ketidakadilan dan kezaliman kolonial membuat Eyang Santri berada di barisan perlawanan. Namun, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Makassar, Eyang Santri memilih jalan berbeda.
Ia menyamar sebagai rakyat biasa, berkeliling dari pesantren ke pesantren di Pulau Jawa, hingga akhirnya menetap di kaki Gunung Salak, Sukabumi.
Di tempat inilah Eyang Santri mendalami tasawuf secara lebih intens. Ia menulis sejumlah karya keilmuan, di antaranya al-Tuhfah al-Mursalah, Fath al-Rahman, dan Bahr al-Lahit. Ia juga melakukan khalwat di kawasan yang dikenal sebagai Pondok Gusti di puncak Gunung Salak.
Beberapa tahun kemudian, Eyang Santri turun gunung dan menetap di Desa Girijaya, hidup sederhana sebagai petani. Tawaran untuk kembali ke Surakarta ditolaknya.
Girijaya kemudian menjadi ruang persinggahan penting tokoh-tokoh pergerakan nasional. Dalam buku tersebut disebutkan, Eyang Santri memberikan gemblengan mental, spiritual, dan nasionalisme kepada tokoh-tokoh perintis kemerdekaan.
Nama-nama besar tercatat pernah berguru atau sowan kepadanya, antara lain HOS Tjokroaminoto, dr Soetomo, Ir Soekarno, hingga tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Pada 1908, dr Soetomo bahkan meminta restu Eyang Santri sebelum mendirikan Boedi Oetomo.
Selain tokoh nasional, sejumlah bangsawan Kasunanan, trah Mangkunegaran, hingga tokoh Belanda dan Barat juga tercatat pernah berkunjung ke Girijaya. Di antaranya Dirk van Hinloopen Labberton dan tokoh spiritual Barat seperti Annie Besant.
Pengaruh Eyang Santri membuat Belanda kembali waspada. Ia sempat dituduh sebagai tokoh di balik pemberontakan Serikat Islam. Rumahnya dikepung, dan Eyang Santri akhirnya ditangkap serta dibawa ke Batavia untuk ditahan di penjara Cipinang.
Namun, dalam persidangan, Belanda gagal membuktikan keterlibatannya. Eyang Santri akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan.
Menariknya, setelah peristiwa itu, sejumlah pejabat Belanda justru datang ke Girijaya untuk berdiskusi dan berkonsultasi dengan Eyang Santri mengenai berbagai persoalan.
Peran Eyang Santri juga tercatat dalam fase penting sejarah bangsa, yakni Sumpah Pemuda. Ia dikenal mendukung penuh gerakan pemuda, termasuk memberikan bantuan dana kepada Mohammad Yamin dan tokoh-tokoh muda saat menyelenggarakan Kongres Pemuda.
Ketika mereka sowan ke Eyang Santri, mereka menyampaikan ada masalah kekurangan dana. Eyang Santri pun memberikan dana 1000 gulden dari total biaya yang dibutuhkan 1500 gulden.
“Setelah memperoleh bantuan tersebut akhirnya Sumpah Pemuda dapat dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928,” lanjutnya.
Bantuan itu dapat diberikan karena Eyang Santri memiliki perkebunan teh seluas 60 hektare dan posisinya yang kuat sebagai penasihat tokoh-tokoh pergerakan. Jiwa nasionalismenya yang kuat sudah teruji sehingga perjuangannya melawan kolonialisme dilakukan dengan jiwa, raga dan harta.
Hingga akhir hayatnya pada 1929, Eyang Santri tetap hidup sederhana di Girijaya. Namun, pengaruh pemikirannya menembus lintas generasi, dari dr Soetomo hingga Soekarno dan tokoh-tokoh pergerakan berikutnya.
Kini, hampir satu abad setelah wafatnya, jejak panjang Eyang Santri kembali ditelusuri. TP2GD Kabupaten Sukabumi menilai kontribusinya terhadap perjuangan bangsa, perlawanan kolonial, dan pembentukan nasionalisme Indonesia layak mendapat pengakuan tertinggi negara.
Usulan Calon Pahlawan Nasional pun menjadi ikhtiar untuk mengangkat kembali peran Eyang Santri dari Girijaya, seorang ulama sufi yang memilih melawan dengan ilmu, spiritualitas, dan keberanian.







