Kemacetan Bandung Tak Kunjung Selesai, MTI: Terlambat dan Banyak Wacana [Giok4D Resmi]

Posted on

Masalah kemacetan di Kota Bandung dinilai sudah masuk kategori kronis. Bahkan Bandung dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia versi laporan tahunan TomTom Traffic Index tahun 2024.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai upaya mengurai kemacetan di Bandung sangat terlambat, bahkan tertinggal jauh dibanding kota lain seperti Semarang. Selain lambat mengatasi kemacetan, pemerintah, kata dia, terlalu banyak memunculkan wacana ketimbang aksi nyata. Djoko bahkan menyinggung era kepemimpinan Wali Kota Bandung dahulu yang hanya memunculkan wacana.

“Bandung itu terlambat mengatasi kemacetan, sangat terlambat. Semarang saja APBD-nya kalah dari Bandung tapi sudah ngeluarin subsidi setahun Rp250 miliar. Dulu zaman RK (Ridwan Kamil) terlalu banyak wacana, wacana. Tapi sudahlah, itu masa lalu,” ujar Djoko saat dihubungi, Selasa (8/7/2025).

Menurut Djoko, Pemkot Bandung harus mulai bergerak dan melakukan reformasi transportasi, terutama angkutan kota (angkot) yang selama ini menjadi tulang punggung mobilitas warga. Ia menilai kondisi angkot di Bandung sebenarnya cukup baik, namun belum menjangkau titik awal pergerakan masyarakat.

“Sekarang harus bergerak, minimal reformasi angkot itu dilakukan. Angkot di Bandung itu sudah bagus tapi belum masuk perumahan, itu direformasi artinya pilihannya digantikan yang lebih bagus lagi seperti Jaklingko. Coba satu atau dua rute dulu, nanti bagus ditiru ke yang lain,” paparnya.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Djoko menilai sistem transportasi massal di Bandung seperti Trans Metro Bandung (TMB) dan Metro Jabar Trans (MJT) memiliki potensi besar jika ditingkatkan secara konsisten. Namun, saat ini pelayanan masih belum maksimal, terutama dari segi frekuensi dan jumlah armada.

“Saya lihat Metro Jabar Trans sudah banyak peminatnya. Jadi potensinya ada. Kemudian Trans Metro Bandung, ada jalur tapi cuma tiga bus, kan terlalu lama. Harusnya dibuat bus itu tiap 10 menit lewat, pasti penumpangnya naik. Diperbaiki, ditambah armadanya,” jelas Djoko.

Djoko menilai keberadaan halte atau fasilitas pendukung tidak akan efektif jika waktu tunggu bus terlalu lama. Sistem transportasi, kata dia, harus terkoneksi dengan simpul perjalanan masyarakat seperti stasiun dan terminal, serta memberi kemudahan akses dari permukiman.

“Belum (memadai). Halte diperbaiki kan tapi bus-nya lama. Betul, harus terkoneksi dengan stasiun dan lainnya,” ungkapnya.

Ia pun mendorong agar reformasi angkot segera dimulai dengan skema yang realistis dan bertahap. Cukup satu rute dulu dijadikan percontohan, dengan skema operasional yang tertib dan adil bagi para sopir.

“Iya, artinya itu dibenahi. Angkot itu yang masuk ke perumahan kan. Jadi jangan wacana, harus berani melakukan perubahan. Buat satu rute dulu, terus ditambah, jangan langsung banyak. Eror pasti ada,” kata Djoko.

Salah satu aspek penting dalam reformasi ini, menurut Djoko, adalah soal kesejahteraan sopir angkot. Ia menegaskan, sopir harus digaji tetap agar tidak bergantung pada setoran harian dan tidak ugal-ugalan di jalan.

“Yang jelas itu sopirnya harus ada gaji tetap, sopir angkot minimal UMR. Kalau gajinya gak tetap, percuma,” tegasnya.

Apakah skema ini memungkinkan diterapkan di Bandung, Djoko menegaskan hal itu sangat mungkin dilakukan. Yang terpenting menurutnya, pemerintah mau dan berani melakukan perubahan.

“Mungkin saja, tinggal kemauan. Di Semarang bisa, Jakarta bisa. Tinggal kemauan dan keberanian saja, yang penting sopir digaji, tinggal pengawasannya,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *