Sore menjelang malam di Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, udara dingin menembus dinding rumah kayu sederhana milik SH (31). Di dalam rumah bercat merah muda dan hijau pupus itu, tumpukan plastik berisi jajanan ringan tersusun rapi hampir setinggi manusia.
Di antara tumpukan itu, SH duduk mengenakan jilbab marun dan gamis garis-garis abu. Tangannya mengepal, matanya tajam seolah menahan air mata dan amarah.
Sejak kasus dugaan kekerasan terhadap anak perempuan yang berusia 4 tahun (balita) mencuat, kehidupan SH berubah total. Ia dan suaminya hidup dalam tekanan, bukan hanya karena luka psikologis yang dialami anaknya, tapi juga karena jalan menuju rumah mereka kini dirusak dan dipagari oleh keluarga pelaku.
“Jadi setelah pelaku (SI berusia 19 tahun) ditangkap malamnya, paginya itu masih bisa lewat. Suami antar saya ke rumah saudara tapi pas suami pulang, jalannya sudah rusak. Dipagar,” ujarnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Bukan cuma satu, dua-duanya. Jadi motor sekarang disimpan di rumah mamah. Akses sehari-hari sudah nggak ada jalan lagi,” sambungnya.
SH menyebut pagar itu dibuat oleh ibu pelaku, dibantu beberapa tetangga. Pagar bambu berdiri tegak di tengah jalan, memutus akses keluar-masuk rumahnya.
“Suami saya lihat sendiri. Dihalanginya pakai bambu. Tadinya bisa lewat, eh udah ditutup lagi. Suami cuma bisa lihat aja diam,” ceritanya.
Bagi SH, jalan itu bukan sekadar akses. Itu adalah nadi kehidupan sehari-hari, jalur untuk mengantarkan jajanan ke warung, jalan menuju sekolah anak, dan jalan yang menghubungkan rumah mereka dengan dunia luar. Kini, setiap kali melangkah keluar, ia seperti diingatkan bahwa hidup mereka tak lagi sama.
“Kadang kalau saya butuh keluar, ya jalan kaki aja, dulu motor bisa dibawa ke sini. Pernah juga sempat dibongkar, tapi besoknya dipasang lagi,” katanya lirih.
Sejak pagar itu berdiri, suasana kampung berubah. Tatapan warga terasa dingin, sapaan yang dulu akrab kini menjadi hambar.
“Yang biasanya nyapa, sekarang nggak, rumah (pelaku) dekat. Saudara-saudaranya pelaku juga jadi ketus. Kayak nggak ada yang berpihak sama kami,” ucapnya.
SH mengaku tidak mengalami intimidasi langsung, tapi ketegangan itu terasa nyata. Ia sering terbangun di tengah malam hanya karena suara ranting jatuh di atap seng.
“Kalau ke air malam, suka takut. Dulu biasa saja, sekarang ada rasa was-was. Takut saja tiba-tiba ada yang datang,” ujarnya pelan.
Meski begitu, SH tetap berusaha tegar. Ia masih bekerja seperti biasa, membantu suaminya membuat jajanan ringan untuk dijual ke warung-warung sekitar.
“Saya ngepak, suami yang bikin. Hasilnya nggak seberapa, tapi ya buat makan,” katanya.
Ingatan SH kembali ke malam yang mengubah hidupnya. Malam itu, anak perempuannya yang masih balita menangis sebelum tidur dan mengeluh sakit pada bagian organ vital.
Suami SH tersulut emosi saat mendengar nama pelaku yang berinisial SI disebut anaknya. Suami SH pun hendak mengambil golok. “Saya tahan. Saya bilang, astaghfirullah, kalau sampai terjadi apa-apa kita yang rugi,” kenangnya.
Mereka kemudian menelepon seorang kerabat, lalu membawa anaknya ke mantri di desa. “Katanya lecet. Karena udah malam, jam sebelasan, nggak bisa langsung divisum,” kata SH.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Keesokan harinya, warga dan pihak keluarga sempat mendorong agar masalah diselesaikan secara kekeluargaan. “Ngaku dia juga, katanya lagi lieur, teu eling. Tapi dari keluarganya nggak ada minta maaf sama sekali. Nggak ada iktikad baik,” ucapnya.
Bagi SH, hal itu terasa sangat menyakitkan. “Kalau memang ada penyesalan, pasti mereka datang. Tapi nggak ada satu pun yang datang minta maaf,” tambahnya.
SH sempat dihubungi oleh lembaga perlindungan anak melalui pesan WhatsApp. “Katanya mau dampingin. Tapi sampai sekarang belum ada tindakan nyata,” katanya.
Meski begitu, SH tetap bertekad memperjuangkan keadilan untuk anaknya. Ia menolak mencabut laporan. “Saya mah pengennya dihukum seberat-beratnya. Soalnya ini masa depan anak. Pokoknya saya nggak bakal cabut laporan sampai kapan pun,” tegasnya.
Kini, setiap hari SH berusaha menata hidupnya pelan-pelan. Anak perempuannya sering bertanya soal kabar pelaku. “Mamah udah ditangkap belum?” katanya menirukan ucapan sang anak.
Meski banyak warga mulai menjauh, SH masih punya segelintir orang yang peduli. “RT juga saudara (pelaku) masih baik. Tapi yang lain pada cuek,” katanya.
Di antara tumpukan jajanan yang siap dijual, SH menatap jauh ke arah dinding rumahnya. Di sana tergantung beberapa foto keluarga, satu-satunya kenangan bahagia yang tersisa.
“Saya cuma pengen hidup tenang lagi. Biar anak bisa sekolah, biar nggak takut lagi,” tutup SH.
Saat ini, kasus tersebut sudah ditangani Polres Sukabumi Kota. Pelaku berinisial SI (19) terancam pidana selama 15 tahun.
Kasi Humas Polres Sukabumi Kota AKP Astuti Setyaningsih mengatakan, peristiwa pilu itu terjadi pada 25 Mei 2025 lalu. Pelaku mengiming-imingi korban dengan menonton tayangan video anak-anak di YouTube.
“Ketika korban sedang bermain di rumah terlapor atau TKP yang mana terlapor mengiming-imingi korban dengan menonton video anak-anak di YouTube, namun tidak lama kemudian terlapor melakukan dugaan pencabulan tersebut,” ujar Astuti.
Akibat peristiwa tersebut, korban merasakan sakit pada alat vitalnya. Selanjutnya korban dengan didampingi oleh orangtuanya melaporkan peristiwa tersebut ke Kantor Kepolisian Resor Sukabumi Kota guna penyelidikan lebih lanjut.
Pada Sabtu (1/11) terduga pelaku pun akhirnya ditangkap setelah buron beberapa bulan. Pelaku SI disebut sempat melarikan diri ke Cireunghas hingga Jampang.







