Tak jauh dari denting gelas kopi dan suara kamera di Jalan Braga, Kota Bandung, sebuah lorong sempit nyaris tak terlihat di samping toko oleh-oleh menjadi pintu menuju Kampung Braga, sebuah pemukiman padat di jantung kota yang hidup dalam gemerlap sejarah.
Akses masuk ke Kampung Braga bisa ditemukan lewat beberapa celah sempit, salah satunya di antara deretan ruko tua di sisi kiri Jalan Braga, persis di seberang restoran legendaris, Braga Permai dan beberapa lorong lain di sepanjang jalan.
Dari luar, nyaris tak terlihat bahwa di baliknya terbentang kehidupan. Begitu masuk, suasana berubah drastis. Jalan setapak selebar kurang lebih 1 meter mengular di antara dinding rumah.
Kampung Braga secara administratif masuk wilayah Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung. Berdasarkan data, kampung ini memiliki dua RW yakni RW 04 dan RW 08.
Kampung ini dihuni oleh sekitar 1.765 jiwa, dengan mayoritas bekerja di sektor swasta dan informal. Namun hanya segelintir warga yang justru menggantungkan hidupnya dari aktivitas ekonomi di Braga bagian depan.
“Di Braga itu ada satu kampung di balik bangunan-bangunan itu, ada namanya Kampung Braga yang terletak di bantaran Sungai Cikapundung. Di situ ada 2 RW, RW 4 dan RW 8,” kata Lurah Braga Willy Wiradhika saat berbincang dengan infoJabar belum lama ini.
Meski hidup berdampingan dengan kawasan wisata bersejarah nan mewah, kondisi ekonomi warga Kampung Braga jauh dari gemerlap. Warga hidup untuk mencari nafkah harian, tanpa peduli wisatawan yang jalan-jalan di Braga.
“Di Kampung Braga mayoritas menengah ke bawah, rata-rata berprofesi sebagai wirausaha, karyawan swasta, pada jualan. Tapi jualan di mulut gang, tidak sampai ke luar (Jalan Braga),” ungkap Willy.
Warga sudah belasan bahkan puluhan tahun tinggal di Kampung Braga. Perbedaan mencolok dari kampung ini dulu dan sekarang adalah bangunan yang semakin padat.
Dida Hadiani (48) ingat betul saat ia pertama kali menginjakkan kaki di Kampung Braga pada 2001 silam. Saat itu, Kampung Braga masih ‘luas’ dimana bangunan satu dengan lainnya masih berjarak.
“Dulu di sini rumah-rumah panggung kebanyakan, sekarang sudah dibangun rumahnya. Sekarang jadi lebih padat Kampung Braga, dulu masih lega,” ujar Teh Ida, sapaannya.
Sementara Siti Warsah (65) atau Mak Ajen menuturkan, Kampung Braga dulu tidak seramai saat ini. Menurut Mak Ajen yang tinggal di Kampung Braga sejak 1960 ini, kafe, rumah makan dan tempat lain yang ada di Jalan Braga dulunya merupakan area pertokoan.
“Bangunannya dulu mah kebanyakan rumah panggung, sekarang kayak gini. Dulu belum banyak bangunan tinggi, hotel-hotel juga baru. Belum seramai sekarang, kafe yang sekarang semua dulu pertokoan,” tuturnya.
Bukan cuma itu, menurutnya, warga Kampung Braga dulu mengandalkan Sungai Cikapundung untuk aktivitas sehari-hari. Namun kini, sungai tersebut tak lagi bisa digunakan untuk keperluan warga karena kondisinya yang tercemar.
“Dulu kamar mandi jarang ada di rumah, mandi di sungai semua masih bening, sekarang kotor Sungai Cikapundung itu,” ujarnya.
Mak Ajen menyebut, sebagian besar warga tinggal di Kampung Braga secara turun-temurun. Seperti halnya dia yang tinggal di sana mengikuti jejak orang tua.
“Kebanyakan turun temurun warga sini. Dulu suasananya asri, sekarang mulai panas,” ungkap Mak Ajen.