Larangan bagi peserta didik di Jawa Barat membawa dan mengendarai kendaraan pribadi ke sekolah mulai memunculkan beragam tanggapan dari masyarakat. Para orang tua kini mulai menimbang ulang cara terbaik agar anak mereka tetap bisa berangkat ke sekolah dengan aman dan efisien.
Aturan larangan membawa kendaraan itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 45/PK.03.03/KESRA tentang Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya.
Salah satu yang menyambut baik kebijakan tersebut adalah Mujib Prayitno, orang tua siswa SMA PGII 1 Bandung. Ia mengaku setuju dengan langkah pemerintah karena kerap menyaksikan langsung pelajar yang berkendara ugal-ugalan di jalan raya.
“Saya setuju, karena kalau pagi saya nganter anak, lihat anak SMA SMP naik motor itu sat set sat set, ngebutnya kadang lebih dari orang tua yang ngantar anaknya,” ujar Mujib, Sabtu (1/11/2025).
Ia menuturkan, di beberapa kawasan di Kota Bandung seperti daerah Jalan Citarum, area parkir sekolah sering kali penuh hingga meluber ke pinggir jalan dan membuat lalu lintas kian semrawut.
“Terus di beberapa lokasi kan parkiran tug terutama di Citarum kadang kemana-mana parkirannya,” katanya.
Menurut Mujib, kebijakan ini berpotensi mengurai kemacetan, terutama di kawasan sekolah yang padat kendaraan. Ia menyebut ada sejumlah sekolah di pusat kota yang bahkan memperbolehkan siswa membawa mobil ke sekolah.
“Kalau pelajar dilarang bawa kendaraan, jelas akan mengurangi macet. Beberapa sekolah di tengah kota sudah ada yang memperbolehkan bawa mobil, itu bikin tambah macet. Saya aja yang nganter anak sering kena macet,” ujarnya.
Namun, ia menilai keberhasilan aturan ini sangat bergantung pada kesiapan sarana transportasi umum yang nyaman dan terjangkau bagi para pelajar.
“Saya sepakat dengan larangan itu, cuma harus didukung fasilitas kendaraan umum yang memadai, nyaman. Jadi orang tua yang rumahnya jauh bisa ngantar sampai bawah, terus anak lanjut naik angkot atau kendaraan lain,” kata dia.
Selain soal kemacetan, Mujib juga menyoroti perilaku sebagian pelajar yang pulang sekolah dengan cara berkendara bergerombol dan ugal-ugalan.
“Kalau siang, mereka pulang sekolah bergerombol, banyak yang geber-geber motor juga. Saya kurang sreg lihatnya, nggak nyaman,” ungkapnya.
Anaknya sendiri sebenarnya sudah cukup umur untuk membuat SIM, namun Mujib memilih belum mengizinkan. Ia lebih percaya anaknya pulang sekolah menggunakan transportasi daring.
“Anak saya memang sudah minta bikin SIM, tapi belum saya kasih dan belum saya belajarin kendaraan. Jadi lebih mending pulang sekolah pakai ojek online, biar dia juga bisa belajar pakai transportasi umum,” ujarnya.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Meski begitu, Mujib mengakui masih banyak tantangan agar kebijakan ini benar-benar berjalan efektif, terutama soal kualitas angkutan umum yang hingga kini belum menarik minat pelajar.
“Kalau angkutan umum, anak saya dari dulu nggak mau, karena nggak nyaman, padahal rumah kami dilewati angkot,” tandasnya.
Sementara Ris Imantoro, orang tua siswa lainnya di Kota Bandung punya pandangan berbeda. Menurut dia, larangan itu harus dikecualikan bagi siswa yang memang layak mengendarai kendaraan dan telah mengantongi SIM.
“Kalau selama siswanya itu sudah layak dengan sudah memilik SIM ya diizinkan. Seperti anak pertama saya dulu, dia sudah bisa pake motor saya ga izinkan (bawa ke sekolah). Baru pas kelas 3 sudah punya SIM, saya izinkan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ia juga menyinggung kondisi angkutan umum di Kota Bandung yang menurutnya belum bisa dikatakan nyaman. Imantoro bahkan menyebut anaknya lebih memilih menggunakan ojek online ketimbang angkutan umum.
“Iya udah nggak nyaman, anak saya lebih memilih pake ojek online. Cepat pakai ojol, kalau angkot kadang lama, belum ngetem dan juga sekarang angkot jarang, harus nunggu lama,” tegas Imantoro.







