Di benak banyak orang, jaksa identik dengan satu momen, yaitu ketika kasus sudah terjadi. Surat panggilan, status tersangka, ruang sidang, dan vonis. Hukum hadir belakangan, setelah kerusakan terjadi, setelah uang negara menguap, setelah proyek mangkrak, setelah desa ribut.
Namun cara pandang itu justru yang ingin dibongkar Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor, Denny Achmad. Baginya, jaksa tidak seharusnya hanya menunggu perkara. Jaksa harus hadir lebih awal, bahkan sebelum masalah lahir. Bukan untuk melindungi, apalagi mengamankan kesalahan, tetapi untuk memastikan kesalahan tidak terjadi sejak awal.
“Tujuan akhirnya pembangunan. Pembangunan itu untuk kesejahteraan masyarakat. Hukum harus mengawal ke situ,” ujarnya saat berbincang dengan infoJabar di ruang kerjanya, awal pekan ini.
Dari titik itulah pendekatan kejaksaan bergeser. Bukan lagi semata post factum enforcement (penindakan setelah kejadian) melainkan ex ante prevention (pencegahan sejak perencanaan). Jaksa masuk bukan saat proyek bermasalah, tetapi ketika rencana masih disusun, anggaran masih dirancang, dan keputusan belum diambil.
Denny berkali-kali menekankan satu hal dalam konteks pembangunan daerah, banyak perkara hukum tidak lahir di akhir, tetapi di awal. Di analisis kebutuhan yang dipaksakan. Di perencanaan yang asal. Di pengadaan yang dikondisikan. Dan, ketika semua itu dibiarkan, penindakan di belakang hanya menjadi pemadam kebakaran.
“Kalau mau jujur melihat masalah proyek, jangan dilihat dari belakang. Lihat dari awalnya,” kata eks Kasie Pidsus Jakarta Timur ini.
Namun di titik inilah muncul kecurigaan publik yang tak kecil, apakah pendampingan hukum tidak akan berubah menjadi perlindungan kesalahan? Apakah kedekatan jaksa dengan pemerintah daerah tidak berisiko melunakkan penegakan hukum?
Denny menjawabnya dengan garis yang tegas. Menurutnya, pendampingan adalah pemberian rambu. Jaksa menunjukkan aturan, menjelaskan prosedur, dan mengingatkan batas. Tetapi rambu bukan tameng. Ketika rambu dilanggar dengan sadar, ketika ada niat jahat (mens rea) dan perbuatan curang, maka pendampingan berhenti, maka dari situ penindakan dimulai.
“Kalau sudah saya ingatkan, lalu tetap dilanggar, ya ditindak,” tegas Denny.
Di sinilah pembeda penting yang kerap luput dari perbincangan publik. Tidak semua kesalahan adalah korupsi. Ada kesalahan administratif yang harus dibenahi. Ada sengketa perdata yang diselesaikan dengan ganti rugi. Ada pidana umum yang bukan ranah korupsi. Dan ada pidana khusus ketika uang negara dirugikan.
Bagi Denny, membedakan ini penting agar hukum tidak liar, tetapi juga tidak tumpul. Setiap jenis pelanggaran punya jalur dan obatnya sendiri. Penindakan pidana adalah ujung, bukan titik awal.
Pendekatan ini sekaligus menjawab kritik lama soal penegakan hukum yang kerap disebut tajam ke bawah, tumpul ke atas. Menurut Denny, ketajaman hukum tidak diukur dari siapa yang ditindak, melainkan dari apakah mekanismenya dijalankan secara konsisten dan transparan.
Jaksa, dalam kerangka ini, bukan sekadar aparat penindak. Ia adalah pengawas pembangunan. Hadir di meja perencanaan, masuk dalam diskusi kebijakan, memberi peringatan sebelum keputusan diambil. Namun tetap menjaga satu jarak penting, jarak dengan pelanggaran.
Di Kabupaten Bogor, pendekatan ini terasa hingga ke desa-desa. Melalui pendampingan dan pengawasan berbasis sistem, kejaksaan berupaya memastikan dana publik tidak terseret ke wilayah abu-abu. Bukan dengan ancaman, tetapi dengan penjelasan. Bukan dengan ketakutan, tetapi dengan kepastian hukum.
Denny paham, cara ini tidak selalu populer. Jaksa yang tidak menunggu kasus justru kerap dicurigai. Tetapi ia memilih bertahan pada satu keyakinan sederhana bahwa hukum yang baik bukan yang sibuk menghukum, melainkan yang mampu mencegah kerusakan.
“Kalau pembangunan berjalan baik dan tidak ada masalah hukum, itu justru keberhasilan jaksa,” tuturnya.
Bagi Denny Achmad, citra kejaksaan yang melekat di masyarakat kerap berangkat dari satu hal, yakni ketakutan. Jaksa dipersepsikan sebagai sosok yang datang membawa hukuman, bukan solusi. Persepsi itu, menurut Denny, perlu diluruskan.
“Kalau masyarakat ada kendala hukum, ingatnya jaksa. Silakan datang ke kejaksaan,” kata Denny.
Ia ingin kejaksaan dipahami sebagai tempat masyarakat mencari penjelasan hukum, bukan sekadar ruang penindakan. Dalam pengalamannya, banyak persoalan warga berada di ranah perdata atau administrasi, bukan pidana. Karena itu, Denny mendorong agar fungsi perdata dan tata usaha negara (datun) benar-benar berjalan sebagai pintu konsultasi dan pendampingan.
Keterbukaan menjadi kunci. Denny menekankan peran Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) agar kejaksaan responsif terhadap surat dan permohonan informasi dari masyarakat.
“Kita pelayan masyarakat. Surat masuk harus dibalas,” ujarnya.
Ia juga memanfaatkan media sosial sebagai sarana pelaporan publik. Bukan sekadar pencitraan, melainkan cara agar masyarakat mengetahui proses kerja kejaksaan, tidak hanya melihat ujungnya saat penindakan terjadi.
Pandangan ini juga tercermin dalam penerapan keadilan restoratif. Menurut Denny, restorative justice bukan jalan kompromi bebas, melainkan mekanisme hukum yang diatur ketat. Setiap perkara harus memenuhi syarat, melalui ekspos berjenjang, diverifikasi ke lapangan, melibatkan lingkungan sosial, dan mendapat persetujuan pimpinan. Bahkan setelah keputusan diambil, pengawasan tetap berjalan dan dapat dicabut jika ditemukan pelanggaran.
Pendekatan tersebut, bagi Denny, menunjukkan bahwa kejaksaan tidak selalu hadir sebagai sosok antagonis penghukuman. Dalam batas tertentu yang diatur hukum, kejaksaan juga berperan menyelesaikan konflik dan memulihkan keadaan.
Namun Denny menegaskan, keterbukaan dan pendekatan humanis tidak berarti melemahkan ketegasan. Ketika ada perbuatan melawan hukum yang disengaja, rekomendasi diabaikan, atau fakta disembunyikan, penindakan tetap dilakukan.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
“Kita menyarankan sesuai aturan. Kalau dijalankan, tidak ada masalah. Kalau dilanggar, kita tindak,” katanya.
Melalui pendekatan ini, Denny berharap kejaksaan tidak lagi dipandang sebagai lembaga yang ditakuti tanpa dipahami, melainkan institusi hukum yang bisa diakses, dijelaskan, dan dipercaya tanpa kehilangan wibawa penegakan hukum.
