Malam itu, langit di atas Pantai Karang Hawu meredup dalam kelam. Gerimis tipis turun perlahan, menyatu dengan semilir angin yang membawa bau asin laut dan kesunyian. Ombak datang dan pergi seperti detak waktu yang tak bisa disentuh.
Di hadapan saya, jalan setapak menuju Gunung Winarum tampak samar, dibingkai semak dan batu-batu karang yang lembap.
Seorang pria bernama Edo Supriadi yang sempat saya temui sore sebelumnya terlihat meninggalkan seikat bunga dan dupa di kaki tebing, lalu berjalan menjauh tanpa banyak bicara.
“Kalau niatnya baik, tempat ini akan menunjukkan jalannya sendiri,” katanya sambil melempar pandang ke laut. Kalimat itu cukup sebagai bekal malam ini.
Saya sendirian. Hanya berbekal senter di tangan dan tekad yang sudah saya ucapkan dalam hati untuk menelusuri kawasan ini.
Di ujung jalur tepatnya garis pantai, saya menemukan mulut gua yang tersembunyi di balik bongkahan batu besar. Tempat itu dikenal sebagai Gua Karang Hawu.
Tak ada papan petunjuk, tak ada penerangan. Hanya suara laut dan desir dedaunan kering yang mengabarkan bahwa saya belum sepenuhnya sendiri.
Air laut kebetulan sedang tak pasang. Langkah saya pelan, nyaris tak berani mengganggu kesunyian. Aroma dupa sisa persembahan entah siapa masih menggantung di udara. Di dalam gua, udara lebih dingin, dan kelembapan menetes dari langit-langit batu.
Ada semacam kendi tua di pojok ruangan batu, dan sisa-sisa bunga kering berserak di lantai. Gua ini bukan sekadar rongga alam. Ia terasa seperti ruang yang pernah menyimpan peristiwa atau setidaknya niat dan harap manusia.
Tak jauh dari sana, saya menaiki jalur ke atas bukit karang. Di sanalah batu yang disebut Karang Kursi berada. Ukurannya besar, bentuknya menyerupai singgasana, menghadap langsung ke laut lepas. Saya duduk sejenak di dekatnya. Angin dari laut datang lebih kencang di sini, membuat tubuh menggigil.
Tak ada yang muncul. Tak ada bisikan. Tapi suasananya seperti sedang diuji, apakah saya sekadar tamu ataukah malah pengganggu.
Saya memejamkan mata. Dalam gelap itu, seperti ada yang mengamati dari jauh, bulu kuduk saya sedikit berdiri.
Seolah tempat ini menjaga rahasianya dengan ketat, hanya terbuka bagi mereka yang datang dengan keyakinan, kepercayaan, dan kepasrahan utuh.
Gunung Winarum bukan hanya bukit karang di tepi laut. Ia adalah simpul antara kisah lama dan keyakinan yang tak pernah sepenuhnya mati.
Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang dengan Abah Abun, juru kunci Gunung Winarum. Ia bercerita, “Bung Karno dulu ke sini sebelum merdeka, kira-kira tahun 40-an, saat masih ngadeum,” ujar Abah Abun kala itu kepada infoJabar.
“Dulu, Gunung Winarum masih bersatu dengan Gunung Winangun. Kalau mau ke Banten harus melewati jalan menanjak, belum ada jalan besar seperti sekarang,” sambungnya.
Kisah itu melintas di benak saya saat duduk di antara batu dan desir angin. Bayangan sang proklamator yang menyepi di sini bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai manusia yang sedang mencari arah dalam sunyi terasa tak begitu jauh dari malam yang saya alami.
Saya turun perlahan saat ombak masih bersuara, tapi terdengar berbeda. Seperti mengucapkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang bersedia diam cukup lama.
Gua, karang kursi, dan tebing karang itu tetap berdiri, menunggu malam berikutnya, dan mereka yang berani menyusuri sunyi.
Perjalanan malam saya berakhir di bibir pantai. Tapi sebagian dari diri saya tertinggal di atas sana, di balik tebing, bersama sunyi yang terusik desir angin malam pesisir selatan.