Kesehatan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, tengah menjadi sorotan publik. Belakangan ini, kondisi kulit wajahnya tampak mengalami perubahan warna yang mencolok dan memicu banyak spekulasi.
Perubahan tampilan wajah tersebut mulai terlihat setelah kunjungannya ke Vatikan. Banyak pihak bertanya-tanya, apa sebenarnya penyakit yang diderita Jokowi?
Setelah menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada akhir April 2025 sebagai utusan dari Presiden terpilih Prabowo Subianto, Jokowi dilaporkan mengalami gangguan kesehatan.
Jokowi berangkat pada 24 April bersama dua anggota Kabinet Merah Putih dan seorang mantan menteri. Paus Fransiskus sendiri wafat pada 21 April 2025 dan dimakamkan pada 26 April.
Usai kembali ke Indonesia, Jokowi mengalami gejala alergi kulit. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh ajudannya, Kompol Syarif Fitriansyah, saat menjawab pertanyaan publik mengenai ketidakhadiran Jokowi di upacara Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025.
“Bapak saat ini sedang pemulihan dari alergi kulit. Pascapulang dari Vatikan,” kata Syarif di Sumber, Banjarsari, Solo, Kamis (5/6/2025), dikutip dari infoJateng.
Diduga, perbedaan iklim antara Vatikan dan Indonesia menjadi pemicu reaksi alergi tersebut.
Meski muncul berbagai spekulasi mengenai kondisi Jokowi, termasuk dugaan penyakit autoimun, ajudan Jokowi dengan tegas membantahnya. Ia memastikan bahwa kondisi Jokowi bukanlah sesuatu yang berat dan mantan presiden itu masih tetap bisa menjalankan aktivitas, termasuk bersepeda di car free day.
Sorotan terhadap kesehatan Jokowi semakin besar saat ia muncul di hadapan publik untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-64 pada Sabtu (21/6/2025). Ia terlihat bersama Ibu Iriana dan ketiga adiknya, menyambut warga yang datang memberikan ucapan dan doa kesembuhan.
Perubahan warna kulit wajah Jokowi menjadi perhatian masyarakat. Namun, menurut Kompol Syarif, secara keseluruhan kondisi fisik Jokowi tetap baik.
“Kalau memang secara visual kita bisa lihat ya kulit Bapak memang agak berubah. Tapi secara fisik, memang secara fisik oke beliau. Nggak ada masalah,” ujarnya, Minggu (22/6/2025).
“Kondisi Bapak membaik, sedang proses pemulihan, kalau memang secara visual kita bisa lihat kulit Bapak memang agak berubah. Secara fisik oke beliau, nggak ada masalah. Beliau sangat-sangat sehat walafiat,” katanya lagi.
“Nggak ada (sakit selain alergi), memang secara medis disampaikan dokter ke kami juga, alerginya beliau itu menyebabkan adanya peradangan, tapi saat ini proses pemulihannya membaik, sangat membaik.”
Menurut dr Ruri D Pamela, SpDVE, FINSDV, alergi kulit terjadi karena respons sistem imun terhadap zat tertentu (alergen) yang sebenarnya tidak berbahaya. Zat pemicu ini bisa berasal dari sabun, debu, makanan, hingga udara dingin.
Alergi ini menyebabkan tubuh melepaskan histamin yang memicu peradangan dan gejala seperti gatal, ruam merah, bengkak, hingga sensasi panas atau perih pada kulit.
Spesialis dermatologi, Dr dr I Gusti Nyoman Darmaputra, SpDVE, Subsp.OBK, FINSDV, FAADV, menambahkan bahwa tubuh bisa saja salah mengidentifikasi alergen sebagai ancaman, sehingga melepaskan zat kimia yang menyebabkan peradangan.
“Jadi, peradangan itu adalah respons tubuh yang ‘overprotektif’,” jelas dr Darma seperti dikutip dari infoHealth, Selasa (24/6/2025).
Beberapa faktor umum penyebab alergi kulit antara lain:
Kontak langsung: nikel, lateks, parfum, kosmetik, sabun.
Makanan dan obat: seperti seafood, telur, kacang.
Lingkungan: debu, serbuk sari, cuaca ekstrem, gigitan serangga.
Alergi kulit juga terbagi dalam beberapa jenis, termasuk:
Dermatitis atopik (eksim) – gatal kronis dan sering terjadi turun-temurun.
Dermatitis kontak alergi – muncul akibat kontak langsung dengan alergen.
Dermatitis dishidrotik – menyebabkan lepuh di tangan dan kaki.
Urtikaria (biduran) – ruam merah gatal.
Angioedema – pembengkakan di area dalam kulit seperti bibir dan mata.
Menurut dr Darma, reaksi alergi di wajah umumnya karena dermatitis kontak alergik, yang bisa dipicu bahan dari kosmetik, sunscreen, sabun muka, hingga masker wajah.
“Tapi bisa juga bagian dari reaksi sistemik seperti erupsi obat yang menyebar ke wajah,” tambahnya.
dr Ruri pun menyebut bahwa eksim seperti dermatitis atopik juga bisa menyerang area wajah, terutama pipi dan kelopak mata, dengan ciri kulit kering dan kemerahan.
Alergi ringan seperti biduran akut biasanya membaik dalam hitungan hari hingga dua minggu jika pemicunya dihindari dan diberikan pengobatan. Namun, untuk kasus yang lebih serius atau kronis seperti eksim, pengobatan bisa berlangsung dalam jangka panjang.
“Sering membutuhkan perawatan jangka panjang,” ujar dr Ruri.
Namun, untuk kasus peradangan alergi yang cukup terlihat jelas seperti yang dialami Jokowi, pemulihan dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga minggu, tergantung pada tindakan medis dan sejauh mana pemicunya berhasil dihindari.
Itulah fakta lengkap mengenai kondisi kesehatan mantan Presiden Jokowi, lengkap dengan penjelasan medis dari para dokter spesialis. Semoga informasi ini membantu menjernihkan spekulasi dan menambah pemahaman soal alergi kulit.