Jejak Tri Raga Suci dan Keyakinan Gunawan Sasmita di Sukabumi

Posted on

Langit Bojonggenteng siang itu tidak terlalu terik. Langkah kaki kami menyusuri perlahan jalan setapak yang hanya cukup dilewati satu kendaraan roda dua.

Permukiman di Kampung Tapos, Desa Cipanengah, Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi terbilang padat, rumah-rumah di kanan kiri jalan setapak berjejer.

Tak sulit menemukan rumah yang dituju. Di antara dinding rumah yang mulai kusam, tulisan ‘Tri Raga Suci’ masih tampak samar. Di depan rumah itu berdiri sebuah warung kecil berdinding bilik bambu yang menjual minuman ringan.

Seorang pria terlihat sibuk menata hamparan sawah yang terhampar tepat di seberang rumah. Dia adalah Gunawan Sasmita. Namanya diketahui setelah aparat gabungan dari Muspika mendatangi rumahnya untuk menelusuri informasi tentang keberadaan aliran yang disebut-sebut bernama Tri Raga Suci Ajaran Ratu Adil Pajajaran Sunda.

Gunawan menghentikan aktivitasnya sejenak saat melihat kami datang. Usianya 65 tahun, tubuhnya terlihat masih tegap, wajahnya tenang. Ia mengenakan pakaian muslim berwarna hijau tua dan sebuah kopiah hitam yang dihiasi pin kecil berbentuk kujang berwarna emas.

Tanpa bertanya siapa atau dari mana, ia langsung mempersilakan masuk. Senyum di wajahnya tidak lepas barang seinfo pun.

“Bagi saya, siapa pun yang datang dengan niat baik, niatnya pasti silaturahmi, ingin ngobrol,” kata Gunawan sambil menuntun masuk ke dalam rumah, Rabu (9/7/2025).

Ia tak keberatan sama sekali saat infoJabar bertanya tentang kedatangan aparat beberapa hari sebelumnya. Gunawan justru menyebut itu bagian dari ‘silaturahmi yang baik’, karena semuanya datang dalam suasana damai dan sopan.

“Mereka cuma ngobrol, nanya-nanya tentang keyakinan saya, soal gambar-gambar yang masih ada di rumah,” tuturnya seraya menunjuk ke salah satu dinding dimana lukisan bunga dengan tulisan melingkar, Padjajaran Soenda Noesa Antara Sakaboemi.

Bagi Gunawan, semua simbol itu bukan untuk disebarkan, apalagi membentuk kelompok atau pengikut.

“Hanya keyakinan untuk saya sendiri,” ujarnya pelan.

Ia menolak disebut sedang mengajarkan ajaran baru. Ia tak merekrut siapa pun, tidak mengadakan pengajian, tidak mengundang orang datang. Hanya dirinya dan pikirannya. Ia menyebut semua itu sebagai penguatan batin pribadi agar makin mengenal Yang Maha Kuasa.

Ketika ditanya soal isu aliran sesat, Gunawan tertawa lebar. Lalu menjelaskan panjang lebar soal makna keyakinannya, dan mengapa ia merasa apa yang dijalaninya justru menguatkan ajaran Islam.

“Saya sudah berhaji, pegangan utamanya sebagai muslim juga sama yakni tetap Al-Qur’an dan hadist. Tidak boleh ada penyimpangan. Makanya alhamdulillah dengan adanya silaturahmi, komunikasi, dan berabayun kita sama-sama berprasangka baik,” lirihnya.

Ia kemudian menjelaskan makna dari lukisan dan tulisan di dinding rumahnya. Bagi Gunawan, setiap kata yang tertulis di sana punya filosofi mendalam, yang tidak semua orang harus mengerti.

“Pa dalam Padjajaran itu artinya padilah, kebagusan. Jajarannya bagaimana susunannya, lalu Soenda itu ya susunan. Da, katanya, itu dina dzatNya, maksudnya dzat Allah. Dzat itu punya wujud, salah satunya ya kita ini. Nusa artinya tempat, antara kita dan kita. Saka bumi, itu yang kuasa, yang punya kuasa dan saksi di bumi ini, Allah SWT,” jelasnya panjang lebar.

Penjelasan Gunawan mengalir seperti sajak. Gunawan berbicara dengan tenang, seperti sedang menuturkan mantera yang lahir dari pengalaman hidupnya sendiri. Ia pernah tinggal di Bogor, lalu pindah ke kampung ini bersama anak-anaknya. Ia menyebut semua ini sebagai proses mengenal dan ngaji kana diri.

Di satu sudut rumahnya, tergantung poster bertuliskan ‘Padepokan Ngaji Kana Diri’ dengan semboyan ‘Sadar Sabar Eling Cicing’. Poster itu terlihat rapi dan berwarna mencolok, seperti baru dipasang.

Ketika ditanya apakah itu bentuk organisasi atau kelompok pengajian, Gunawan buru-buru menggeleng.

“Disebut padepokan karena tempatnya saja, bukan grup-grupan,” katanya.

“Ini hanya tempat riungan, tempat menyendiri. Tidak ada pengikut, tidak ada ajakan. Kalau ada yang mau datang, ya datang. Tapi belakangan tidak ada siapa-siapa,” sambungnya.

Dilihat infoJabar isi tulisan dalam poster tersebut menggunakan bahasa Sunda. Dalam bagian tengah poster tertulis

SILA MANGGALA
Lain tempat jang pangjluan
Lain tempat panyalindungan
Lain tempat panglumputan
Lain tempat jang neangan kakuwatan
Lain tempat jang neangan kasaktian

SILA MANGGALA
Tempat jang neangan tapak naluka
Lempang di poe isukan
Ngaji kana diri na
Kaji kana esi diri na
Supaya
Masagi dina raga na
Sadar sabar eling cicing

Bila diterjemahkan, isinya cukup jelas ini bukan tempat mencari kesaktian, bukan tempat minta perlindungan atau lari dari masalah. Ini tempat untuk mengenal diri, menyadari luka, memahami isi hati dan raga, agar menjadi pribadi yang utuh, tenang, dan sabar.

Semuanya terdengar seperti ajaran filsafat hidup. Tidak ada janji kekuatan gaib. Tidak ada sabda pemikat. Hanya ajakan untuk diam dan merenung.

Ketika kami pamit, Gunawan kembali tersenyum. Ia tak menawarkan penjelasan lebih jauh, dan tidak juga mencoba membenarkan apa pun. Di dalam rumahnya, ajaran yang ia yakini tidak lebih dari percakapan panjang antara dirinya dan keyakinannya sendiri.