Palabuhanratu, sebuah kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang kini menjadi ibu kota kabupaten di selatan Jawa Barat itu sering dikaitkan dengan Nyi Roro Kidul atau Ratu Kidul, sosok gaib penguasa pantai selatan Jawa.
Mitos tentang Nyi Roro Kidul yang berangkat dengan kereta kencana dari Karang Bolong di Anyer, Banten untuk menjelajah laut selatan, menyebutkan bahwa Ratu Kidul itu singgah atau berlabuh di Palabuhan-ratu, sehingga wilayah itu dinamakan Palabuhanratu.
Tetapi ada versi lain yang menarik dengan cerita cinta yang berdarah-darah tentang dua anak manusia dari Kerajaan Pajajaran. Mereka melarikan diri ke wilayah selatan ketika pasukan gabungan Islam meluluhlantakkan ibu kota kerajaan mereka.
Bagaimana kisahnya? Simak artikel ini sampai tuntas yuk!
Palabuhanratu bukan saja menjadi nama kecamatan di Kabupaten Sukabumi, namun ada juga Kelurahan Palabuhanratu. Menurut studi tentang tradisi Labuh Saji yang diunggah situs UIN Sunan Gunung Djati Bandung, jarak antara kelurahan ke ibu kota kecamatan Palabuhanratu hanya 1 kilometer yang jika ditempuh dengan kendaraan, hanya memakan waktu 10 menit.
Dari kelurahan ini, untuk mencapai ibu kota kabupaten hanya perlu menempuh perjalanan 2 kilometer, dengan waktu tempuh paling cepat 15 menit. Dari ibu kota Kabupaten Sukabumi ke ibu kota Provinsi Jawa Barat di Kota Bandung, perlu menempuh 146 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 7 jam.
Wilayah Palabuhanratu di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia atau yang terkenal dengan Laut Selatan Jawa. Di seberang samudra, ada wilayah yang disebut oleh orang Sunda dahulu sebagai Nusalarang (yang konon kini adalah Christmas Island, wilayah eksternal Australia).
Sekitar tahun 1527 Masehi, Kerajaan Sunda Pajajaran yang beribu kota di wilayah yang kini menjadi Kota Bogor, hancur oleh kepungan pasukan Islam dari Banten, Demak, dan Cirebon. Para pasukan ini mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam keraton memanfaatkan pengkhianatan sosok bernama Jaya Antea, mantan mantri majeuti (kini seetingkat Mensesneg) Pajajaran yang kemudian mengabdi kepada Kesultanan Banten.
Kocap tercerita, pasukan masuk melalui gerbang bernama Lawang Gintung, dan ini menjadi awal keraton Pajajaran dibumi hanguskan. Kebakaran meluas dan membuat penghuninya tercerai-berai.
Ada empat kelompok penghuni Keraton Pajajaran yang melarikan diri dari kondisi yang terdesak itu. Satu di antaranya adalah yang dipimpin Raden Kumbang Bagus Setra bersama istrinya yang tengah mengandung, Nyi Putri Purnamasari. Keduanya juga mendapat penjagaan dari seorang kumawula kerajaan bernama Rakean Kalang Sunda.
Kelompok ini lari ke selatan, menuju ke pesisir laut yang kini dikenal sebagai Palabuhanratu. Sebenarnya, tidak ada tujuan pasti. Yang jelas, pelarian mereka sekaligus untuk menghindari kejaran Jaya Antea yang menjadi penyebar Islam dengan gelar Syaikh Al-Kowanah namun dalam pengejarannya, ada bumbu cemburu, dia masih berharap cinta Nyi Putri Purnamasari yang diidamkannya sejak dulu ketika masih di Pajajaran.
Kelompok buruan ini semakin menipis jumlahnya seiring pertarungan-pertarungan sepanjang perjalanan. Jika malam hari, pertarungan terhenti karena gelap. Memanfaatkan malam dan terhentinya perang sejenak, orang Pajajaran terus berjalan ke selatan.
Puncak pertarungan ini adalah antara Jaya Antea dan Raden Kumbang Bagus Setra di gunung Jayanti. Bagus Setra menemui ajalnya. Sementara duel terjadi, Rakean Kalang Sunda menyembunyikan Nyi Putri Purnamasari di sekitar Sungai Cimandiri. Lama di persembunyian, Jaya Antea tak terlihat lagi, sehingga Rakean memberanikan diri muncul, dan membuatkan rumah kecil untuk Nyi Putri Purnamasari seraya menunggu waktu melahirkan.
Rakean harus mencari orang yang bisa membantu melahirkan, namun ketika Rakean Kalang Sunda pergi, waktu kelahiran keburu datang. Nyi Putri Purnamasari melahirkan dengan ditemani Ki Saragato, Ki Gandana, dan Ki Sanaya, orang-orang dari Pajajaran yang tersisa. Bayi lahir dan diberi nama Putri Mayangsari atau Mayang Sagara.
Dikutip dari studi tentang Labuh Saji di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, karena trah Kerajaan Pajajaran, Nyi Putri Purnamasari menjadi pemimpin masyarakat di tempat itu. Puun Purnamasari memimpin dengan bijaksana, hingga wilayah itu berkembang.
Namun, waktu berlalu dan sebagaimana kebiasaan raja-raja di Sunda, jika sudah terlalu tua, sudah saatnya meninggalkan tahta dan pergi bertapa. Puun Purnamasari pergi bertapa dan tahta diberikan kepada Mayang Sagara.
Sayangnya, ketika itu Mayang Sagara masih sangat muda, sehingga kepemimpinan sementara waktu dipegang oleh tiga sesepuh dari Pajajaran, yakni Ki Saragato, Ki Gandana, dan Ki Sanaya.
Ketika Mayang Sagara jadi pemimpin, tampak ketangguhannya melindungi rakyat. Pada masa ini juga pemerintahan yang mulanya di Cidadap dialihkan ke utara Sungai Cimandiri yang kini menjadi Palabuhanratu.
Pada masa Mayang Sagara ini juga rakyat terlindungi dari serangan para bajak laut yang melakukan aksi jahat mereka. Keberanian Mayang Sagara ini sesuai dengan gelar yang diberikan tiga sesepuh Pajajaran kepadanya, yaitu Ratu Kidul.
“Sedangkan nama Cidadap Palabuan Nyai Ratu setelah dipimpin oleh Nyai Ratu Kidul diganti dengan nama Palabuan Nyai Ratu tidak memakai Cidadap karena terlalu panjang dan supaya mudah diingat oleh masyarakat, pergantian nama tersebut terjadi atas saran ke-3 sesepuh (lengser), maka atas saran dan masukan ke-3 sesepuh serta persetujuan dari Nyai Ratu Kidul (Puteri Mayangsari) pada tanggal 06 April 1580 M nama Palabuan Nyai Ratu berubah menjadi Palabuanratu,” tulis studi itu.