Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan status siaga darurat bencana sejak 15 September 2025 hingga 30 April 2026. Langkah ini menjadi bentuk kewaspadaan menghadapi peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang kerap melanda saat musim hujan.
Sepanjang Oktober 2025 saja, tercatat 95 kejadian bencana di berbagai wilayah. Dampaknya cukup besar, 19.962 jiwa terdampak, 4 orang meninggal dunia, serta 3.655 rumah terendam banjir. Selain itu, 171 bangunan rusak berat, 405 rusak sedang, dan 1.908 rusak ringan.
Di tengah kondisi tersebut, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat terus memperkuat upaya mitigasi agar masyarakat lebih siap menghadapi ancaman bencana.
“Kita juga sudah melakukan imbauan, surat edaran yang dilakukan oleh Kepala BPBD, Pak Sekda, dan Pak Gubernur sendiri sudah menekankan berkali-kali untuk antisipasi segala macam,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat, Teten Ali Mulku Engkun, saat dikonfirmasi, Rabu (29/10/2025).
“Termasuk juga di media sosial beliau menyampaikan jangan ada sampah, kemudian leuweung kudu kayan (hutan harus terjaga). Itu bagian dari mitigasi struktural maupun nonstruktural,” sambungnya.
Menurut Teten, langkah mitigasi tidak hanya dilakukan melalui pembangunan fisik atau infrastruktur penanggulangan bencana, tetapi juga lewat edukasi dan pembiasaan masyarakat untuk menjaga lingkungan. Salah satu hal yang ditekankan adalah disiplin dalam menjaga kebersihan sungai dan saluran air.
“Sudah kita sosialisasikan, sudah kita sampaikan berulang-ulang karena biasanya kita suka lupa. Melalui perangkat kewilayahan, kita minta agar masyarakat sadar akan potensi bencana di lingkungannya,” ujarnya.
BPBD Jabar juga telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh kabupaten dan kota untuk memastikan setiap wilayah memiliki titik aman dan lokasi evakuasi yang jelas. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat proses penyelamatan saat bencana terjadi.
“Kita juga sudah memberikan surat edaran titik-titik evakuasi itu ke mana saja. Kabupaten/kota sampai dengan desa itu harus menetapkan titik aman dan titik evakuasi,” jelas Teten.
Untuk mendukung kesiapsiagaan tersebut, BPBD Jabar menyiapkan anggaran mitigasi dan penanggulangan bencana yang bersumber dari berbagai pihak, tidak hanya APBD.
“Kita tidak hanya mengandalkan APBD. Prinsipnya kita juga mengadakan multi stakeholders, punya cluster logistik dari teman-teman BUMN, BUMD, Baznas, dan lainnya. Selain dari APBD, kita juga disupport BNPB dan berkolaborasi dengan PVMBG serta BMKG sebagai wali data kami,” ungkapnya.
Meski demikian, Teten menegaskan bahwa anggaran penanggulangan bencana bersifat dinamis, bergantung pada skala kejadian dan tingkat kedaruratan di lapangan.
“Menanggulangi bencana itu tidak bisa diprediksi karena bencana itu dinamis,” katanya.
Kepada masyarakat, Teten mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan dan kesadaran individu dalam mengurangi risiko bencana. Sebab bencana kata dia bukan sesuatu hal yang dapat dihindari.
“Masyarakat perlu tahu kondisi daerahnya seperti apa, potensi bencana yang ada apa. Tetap waspada, jangan panik. Cek jalur evakuasi dan titik kumpul yang sudah ditetapkan oleh teman-teman di kewilayahan,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa perilaku manusia masih menjadi penyebab utama bencana, terutama banjir dan longsor.
“Di Jawa Barat paling tinggi itu banjir dan longsor, dan sebagian besar diyakinkan oleh ulah manusia sendiri. Buang sampah sembarangan, perubahan tata guna lahan, mengganti pohon penyerap air dengan tanaman yang tidak bisa menyimpan air,” tandasnya.







