Iran tengah menghadapi krisis air minum terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu bendungan utama yang memasok kebutuhan air bagi ibu kota Teheran kini hanya menyimpan 8 persen dari kapasitasnya.
Bendungan Amir Kabir, salah satu dari lima bendungan yang menyuplai air minum untuk Teheran, kini hanya memiliki 14 juta meter kubik air. Angka itu setara dengan 8 persen dari total kapasitas tampungan.
“Dengan volume sebesar itu, bendungan tersebut hanya bisa memasok Teheran selama dua minggu,” ujar Direktur Perusahaan Air Teheran, Behzad Parsa sebagaimana dilansir dari infoFinance.
Iran, yang dikenal sebagai salah satu produsen minyak terbesar dunia, kini dihadapkan pada kekeringan yang ekstrem. Seorang pejabat bahkan menyebut curah hujan di Teheran ‘hampir belum pernah terjadi selama satu abad’.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kekayaan sumber daya minyak Iran. Negara tersebut berada di peringkat kesembilan produsen minyak terbesar dunia, dengan produksi sekitar 3,9 juta barel per hari, atau 4 persen dari total produksi global.
Dengan cadangan minyak mencapai 157 miliar barel, Iran menguasai sekitar 24 persen cadangan minyak Timur Tengah dan 12 persen cadangan dunia. Dari jumlah itu, sekitar 2 juta barel minyak mentah dan bahan bakar olahan diekspor setiap hari.
Pada 2023, pendapatan ekspor minyak bersih Iran diperkirakan mencapai US$53 miliar, naik dari US$37 miliar pada 2021. Meskipun perekonomiannya lebih beragam dibandingkan negara tetangga, sektor minyak masih menjadi sumber utama pendapatan pemerintah.
Namun, sanksi internasional dan minimnya investasi asing membuat produksi minyak Iran jauh di bawah potensi maksimalnya.
Krisis air kini menghantui Teheran, kota metropolitan dengan lebih dari 10 juta penduduk yang terletak di lereng selatan Pegunungan Alborz. Daerah ini biasanya menerima aliran air dari puncak gunung setinggi 5.600 meter, yang mengisi sejumlah waduk penting.
Menurut Behzad Parsa, setahun lalu Bendungan Amir Kabir masih menampung 86 juta meter kubik air, tetapi kini curah hujan di wilayah Teheran turun 100 persen. Ia tidak merinci kondisi empat bendungan lain dalam sistem pasokan air kota.
Media lokal melaporkan, warga Teheran mengonsumsi sekitar tiga juta meter kubik air per hari. Untuk menghemat pasokan, pemerintah telah memutus aliran air di sejumlah permukiman, sementara pemadaman air bergilir kerap terjadi sepanjang musim panas.
Pada Juli dan Agustus, pemerintah bahkan sempat menetapkan dua hari libur nasional untuk menghemat air dan energi di tengah gelombang panas ekstrem. Suhu di Teheran saat itu mencapai lebih dari 40 derajat Celsius, sementara di beberapa wilayah Iran bagian selatan bahkan menembus 50 derajat Celsius.
“Krisis air jauh lebih serius daripada yang dibicarakan saat ini,” peringatan Presiden Iran Masoud Pezeshkian kala itu.
Kekurangan air tidak hanya melanda Teheran, tetapi juga provinsi-provinsi kering di Iran bagian selatan. Para ahli menilai krisis ini disebabkan oleh salah urus pengelolaan air, eksploitasi berlebihan terhadap air tanah, serta dampak perubahan iklim.
Kondisi serupa juga terjadi di Irak, negara tetangga Iran, yang menghadapi tahun terkering sejak 1993. Debit sungai Tigris dan Eufrat dilaporkan turun hingga 27 persen akibat minimnya hujan dan pembatasan pasokan air dari hulu, memicu krisis kemanusiaan di wilayah selatan negara tersebut.
Artikel ini sudah tayang di infoFinance
