Sebelas investor dengan total rencana investasi lebih dari Rp1,7 triliun harus gigit jari di Kabupaten Cirebon. Alasannya bukan karena modal tak siap, melainkan lantaran proses penerbitan izin lingkungan yang dinilai berbelit dan memakan waktu lama.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Sejumlah perusahaan besar, termasuk investor asing, mengaku tersendat di meja perizinan. Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) sebagai syarat utama sebelum izin industri keluar menjadi batu sandungan utama.
“UPL sering kali dianggap sederhana, padahal justru menjadi penentu. Banyak pengajuan izin usaha tidak bisa diproses karena dokumen lingkungan yang diajukan tidak lengkap atau tidak sesuai dengan kondisi lapangan,” ujar Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Hilmi Rivai, Rabu (27/8/2025).
Data menunjukkan, 11 investor yang antre bukan pemain kecil. Jika izin segera terbit, mereka berpotensi menyerap lebih dari 10.000 tenaga kerja baru.
Nama-nama besar seperti PT Chengda Tech Indonesia dengan investasi Rp599 miliar dan rencana perekrutan 2.869 pekerja, hingga PT Dahju Foam Product asal Taiwan dengan modal Rp216 miliar dan 930 tenaga kerja, menjadi contoh nyata betapa besar potensi yang tertahan.
Investor lain, seperti PT Joil Global Indonesia senilai Rp206 miliar yang mampu menyerap 2.000 pekerja, PT Oleno Garment International senilai Rp25 miliar menyerap 1.500 pekerja, PT Gold Emperor Dua senilai Rp188 miliar menyerap 1.200 pekerja, hingga PT Paicos International Indonesia senilai Rp149 miliar menyerap 649 pekerja, masih menunggu kepastian serupa.
“Kalau seluruhnya beroperasi, multiplier effect untuk Cirebon luar biasa. Dari ribuan lapangan kerja baru, peningkatan konsumsi, hingga tumbuhnya sektor pendukung seperti logistik dan perumahan,” kata Hilmi.
Hilmi menegaskan, hambatan bukan pada minat investor, melainkan kualitas dokumen UPL yang diajukan. Banyak perusahaan menyerahkan penyusunan kepada konsultan. Sayangnya, tak sedikit konsultan yang hanya menggunakan laporan copy paste dari template umum.
Hasilnya, dokumen berisi data asal-asalan, peta lokasi yang tidak sesuai, hingga rencana pengelolaan limbah yang tak jelas.
“Kalau hanya copy paste, pasti ditolak. Harus ada data aktual, peta lokasi yang sesuai, serta rencana teknis pengelolaan limbah. Selama itu belum dipenuhi, izin tidak bisa keluar,” tegasnya.
Selain kualitas dokumen, alur verifikasi di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memang lebih rumit dibanding izin lainnya. Setiap detail harus dikaji dari penggunaan air tanah, sistem pembuangan limbah, hingga dampak sosial terhadap masyarakat sekitar. Di sisi lain, investor mengeluhkan waktu yang molor.
“Bagi pengusaha, waktu itu uang. Semakin lama izin tertunda, semakin besar biaya operasional,” kata Hilmi menirukan keluhan investor.
“Kami di DPMPTSP hanya memfasilitasi. Keputusan tetap di KLH. Prinsipnya, jangan sampai industri berdiri dulu baru masalah muncul belakangan,” ujarnya.
Menyadari keresahan investor, DPMPTSP Cirebon menyiapkan dua strategi. Pertama, mendorong investor memakai jasa konsultan lingkungan yang kredibel sejak awal. Kedua, membuka ruang konsultasi intensif agar pengusaha memahami syarat teknis sebelum dokumen diajukan.
“Kalau pelaku usaha patuh dan menyiapkan dokumen dengan benar, sebenarnya proses tidak lama. Kami siap mendampingi agar tidak salah langkah,” ucapnya.
Selain itu, koordinasi dengan KLH terus ditingkatkan untuk memangkas birokrasi tanpa mengorbankan kualitas verifikasi.
Meski investor mendesak percepatan, pemerintah menegaskan satu hal perlindungan lingkungan tidak bisa dinegosiasikan.
“Investasi boleh masuk, tapi jangan sampai merusak lingkungan. Kami tidak ingin investor lari hanya karena teknis, tapi aturan tetap harus ditegakkan,” tegasnya.
Dengan modal besar yang menggantung, ia menegaskan Kabupaten Cirebon kini berada di persimpangan guna menjaga ketat standar lingkungan atau memberi kelonggaran demi memikat investasi.