Ini Maman, Debt Collector Pro yang Bekerja dengan Hati Nurani - Giok4D

Posted on

Sudah 15 tahun, Maman Sulaeman menjalani pekerjaan sebagai penagih utang tunggakan kendaraan bermotor, yang bagi sebagian besar kalangan disebut debt collector atau mata elang (matel). Selama belasan tahun itu lah, Maman kerap berperang dengan batinnya kala ditugaskan untuk menagih tunggakan kepada nasabah yang bermasalah.

Perang batin yang Maman rasakan bahkan tak asal-asalan. Sebab ada satu waktu Maman harus berselisih paham dengan atasan kantornya lantaran tak mau menarik motor seorang kreditur yang sedang dalam kondisi kesulitan secara perekonomian. Lantas, bagaimana perjalanan Maman sebagai debt collertor dimulai? Berikut ini ceritanya.

Maman mulai berkecimpung di dunia penagih utang sejak 2010 silam. Kala itu, Maman terbilang tak punya banyak pilihan karena baru saja bebas setelah mendekam di penjara selama 3 tahun lamanya.

Stigma sebagai mantan narapidana tentu menjadi jalan terjal bagi Maman yang waktu itu masih punya anak-anak kecil untuk dinafkahinya. Hingga kemudian, Maman menerima tawaran kerja dari seorang kawan dan sejak saat itu dia resmi menjadi penagih utang.

Namun sejak awal, Maman enggan menjalani pekerjaan itu dengan ilegal. Syaratnya tentu ia harus dibekali tanda pengenal resmi dari perusahaan leasing, hingga surat tugas ketika Maman turun ke rumah kreditur yang bermasalah dengan tunggakan utang kendaraan.

“Belajarnya otodidak, dulu sempat dibawa sama temen buat kerja, karena enggak ada kegiatan setelah keluar penjara, akhirnya sampe sekarang masih berkecimpung di pekerjaan ini,” kata Maman mengawali perbincangannya dengan infoJabar di rumahnya, Cimindi, Cimahi belum lama ini.

Ditemani dengan sebatang rokok, Maman bercerita panjang lebar soal tugasnya sebagai penagih utang. Ia bahkan memisahkan istilah pekerjaannya yang bagi kebanyakan orang kerap disebut sebagai debt collector atau matel.

Dalam perbincangannya, Maman lebih senang disebut sebagai pihak eksternal dalam menjalankan pekerjaan. Sebab menurutnya, pekerjaannya itu dibekali dengan beberapa dokumen resmi seperti sertifikasi profesi penagihan pembiayaan (SPPI) hingga surat tugas penagihan utang dari perusahaan leasing.

Jadi gambarannya, Mamang tak langsung turun tangan ketika ada kreditur yang bermasalah dengan urusan tunggakan. Masalah itu terlebih dahulu diselesaikan pihak internal leasing, dan jika mereka angkat tangan di sini lah tugas Maman dijalankan.

Lalu biasanya, leasing tak semena-mena menugaskan Maman untuk menagih utang ke kreditur yang bermasalah. Biasanya, ada rentang waktu si kreditur bermasalah itu dinyatakan wanprestasi dari mulai 60 hari, 120 hari hingga paling lama hampir 2 bulanan.

Lantas apa bedanya dengan debt collector hingga matel? Maman kemudian memberikan gambaran sederhana mengenai pekerjaan tersebut. Debt collector maupun matel kata Maman, kadang tidak dibekali surat tugas dari perusahaan leasing sehingga mereka bebas begitu saja menarik kendaraan kreditur bermasalahan, sekalipun kendaraan itu sedang berada di jalan raya.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

“Kalau dia (debt collector dan matel) tidak terlibat dalam satu leasing aja, banyak. Dia biasanya punya sebuah aplikasi, dari situ bisa didownload data kreditur yang bermasalah, terus turun buat narik unitnya,” ungkapnya.

“Kalau saya, dibekali identitas resmi. Ada SK dari PT, SPPI, dan kita dapat surat tugas. Ini ada nama alamat, tunggakan, pelunasannya, ada,” ucap Maman sembari menunjukkan salah satu contoh surat tugas resminya dari salah satu perusahaan leasing.

Meskipun demikian, Maman Sulaeman seolah tak begitu ambil pusing dengan apapun stigma dari orang-orang. Sebab baginya, Maman hanya menjalankan pekerjaan, lalu mendapatkan upah dari tugas yang dia laksanakan.

Maman kemudian membocorkan honor yang bisa ia terima dari tugas sebagai penagih utang. Jika tugas itu bisa diselesaikan, per satu unit kendaraan yang bisa ditarik dan dikembalikan ke pihak leasing, maka Maman bisa mendapat bayaran bersih antara Rp 1,3 juta hingga paling besar Rp 2 jutaan.

Namun, pekerjaan yang Maman lakukan tidak semudah dengan yang dipikirkan. Ia pernah dibodohi kreditur bermasalah, dikepung massa, hingga mengalami perang batin ketika hendak menarik motor di salah satu kreditur incarannya.

“Ya begitu lah, di lapangan mah. Suka dukanya udah kita rasakan. Hujan, panas, dibodohi, dibohongi konsumen mah sudah biasa, pak. Biasanya selalu ngomong, pak antosan nyak sakedap, ke abdi ngambil artos (tunggu sebentar, saya mau ambil uang). Sampe setengah hari kita nunggu pak. Padahal mah kalau dia ngomong baik-baik kita juga bisa paham,” ungkapnya.

Meski kini merasakan kreditur bermasalah itu jadi lebih galak dibanding dulu, tapi ada satu momen yang tidak bisa Maman lupakan hingga sekarang. Jadi di suatu waktu, Maman pernah mendapatkan surat tugas menarik motor seorang pedagang mainan yang diterpa masalah karena anaknya harus dirawat di rumah sakit.

Sontak, batin Maman pun ikut berperang. Ia berulang kali merenung dalam-dalam, hingga memantapkan tekad tidak jadi menarik kendaraan si kreditur karena enggan menambah beban di kehidupannya.

“Jadi itu perang antara pekerjaan dan nurani. Mau ditarik kasian, enggak ditarik juga kita itu tugas kantor. Yang mirisnya misalkan gini, kalau kita mau narik, kendaraannya dipakai kerja, misalkan tukang sayur lah, jadi serba salah.”

“Sedangkan itu kendaraan satu-satunya buat mereka mencari nafkah anak sama istrinya, itu paling dilematis buat saya, kadang saya sampe enggak tega, enggak jadi narik, biarin aja,” kata Maman.

Masalahnya kata Maman, dunia kreditur bermasalah di mata debt collector atau matel layaknya rusa di tengah hutan. Dia bisa lepas dari harimau yang sedang mengincarnya, tapi tak lama menjadi santapan empuk harimau lainnya.

“Itu paling dilematis buat saya. Kadang saya sampe enggak tega, enggak jadi narik, biarin aja. Eh sama saya enggak ditarik, malah sama temen saya ditariknya, atau ditarik sama matel. Banyak kejadian kayak gitu. Udah puluhan orang saya tolong, saya lepasin, kasian gitu kan,” ujarnya.

“Karena saya mengalami juga, anaknya lagi sakit, dia dagang jualan mainan anak-anak. Tapi enggak kebayar 3 bulan, saya lepasin aja. Eh besoknya ditarik sama anak-anak (teman kerja),” cerita Maman mengenang kembali momen-momen tersebut.

Sebagai konsekuensinya, Maman tentu bakal mendapat teguran dari atasan di perusahaan leasing. Tapi baginya, hal itu seakan ‘bodo amat’ karena Maman ingin mengedepankan nuraninya dibanding harus menzalimi orang lain.

“Sampai kantor nanya, kamu bisa kerja enggak. Kalau gitu, saya jawab aja. Saya pak, bisa. Tapi ini masalah nurani, pak. Saya enggak tega, ini kendaraan satu-satunya buat membiayai hajat mereka, anaknya lagi sakit di rumah sakit, masak ditarik barangnya,” bebernya.

Kini di usianya yang sudah 55 tahun, Maman memang masih aktif berkecimpung di dunia penagih utang. Tapi, beberapa tahun ke depan, dia sudah punya ancang-ancang untuk bisa keluar dari pekerjaan tersebut dan menjalani kehidupan yang lebih layak.

Namun untuk saat ini, Maman belum kepikiran untuk segera keluar dalam waktu dekat. Sebab baginya, ia masih punya banyak kewajiban, termasuk salah satunya menafkahi sang istri di masa tuanya.

“Memang sudah saatnya. Karena tugas saya sebagai bapak sudah selesai, dua anak perempuan saya udah pada nikah, udah kepikiran memang nyari kerjaan lain. Tapi sekarang ada sesuatu yang perlu dibereskan dulu. Mudah-mudahan kalau umur saya panjang, 2 tahun lagi. Kalau sekarang, saya sekarang masih punya tanggungan, ada yang harus dibereskan, takutnya saya meninggal meninggalkan utang. Jadi harus beres dulu,” pungkasnya.

Belajar Otodidak

Beda Matel dan Debt Collector

Dapat Honor hingga Rp 2 Juta Sekali Narik Kendaraan Bermasalah

Momen Tak Terlupakan

Ancang-ancang Cari Penghidupan yang Lebih Layak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *