Sungai Cipelang, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, kini tak lagi sekedar saluran irigasi yang dilewati air. Di balik alirannya yang tenang, mengalir pula semangat para pemuda setempat yang tergabung dalam komunitas Hujan Keruh.
Di bantaran sungai tersebut juga berdiri sebuah bilik bambu sederhana. Tempatnya anyaman dan di sekelilingnya tumbuh bunga matahari yang cerah serta dinding bambu di halamannya dihiasi hasil kerajinan tangan para anggota komunitas.
Meski mungil dan tak permanen, tempat ini bukan sekedar sekretariat komunitas biasa. Dari tempat ini telah tercipta pusat gerakan, ruang ide, dan simbol perlawanan terhadap kerusakan lingkungan. Di sini pula komunitas Hujan Keruh merancang langkah-langkah kecil yang berdampak besar bagi sungai dan masyarakat.
Adapun komunitas yang lahir sekitar tahun 2010/2011 ini terbentuk dari keresahan akan ancaman kerusakan lingkungan. Tragedi abrasi sungai Cimanuk yang menghanyutkan 22 rumah warga adalah titik awal spirit para pemuda tersebut membara.
“Atas kejadian itu kami para pemuda lokal terpanggil untuk melakukan pergerakan, (geram) karena respon dari pemerintah daerah ataupun pemerintah desa saat itu kurang responsif. Jadi akhirnya kita (bikin gerakan), dan alhamdulillah satu tahun direspon dengan baik oleh pemerintah, ada relokasi, terus bantaran sungai Cimanuk langsung saat itu juga ditangani oleh BBWS,” kata pegiat komunitas Hujan Keruh Sarifudin Rahmat saat ditemui infoJabar, Sabtu (26/7/2025).
Setelah peristiwa itu, semangat para pemuda Jatitujuh tidak berhenti. Mereka terus berkumpul dan akhirnya sepakat menamai komunitas itu Hujan Keruh.
“Kenapa dinamakan Hujan Keruh, entah bagaimana pokoknya kita hanya berpikir ketika hujan datang, sungai Cimanuk dan Cipelang itu pasti keruh. Jadinya hujan keruh. Ketika musim hujan, sungai yang ada di kita itu pasti keruh. Jadi kita ambil hujan keruh,” jelas Sarifudin.
Mereka bukan hanya menjaga kebersihan sungai, tapi juga merawat kesadaran warga akan pentingnya lingkungan bersih. Melalui Festival Pecunan atau lomba balap perahu tradisional setiap 17 Agustus, event tersebut mereka kemas menjadi ajang kampanye kebersihan sungai.
“Alhamdulillah dari festival Pecunan itu kita mengkampanyekan bagaimana saluran irigasi atau sungai itu agar bersih dari sampah,” paparnya.
Menurut Sarifudin, kegiatan ini juga untuk menguatkan kolaborasi mereka dengan BBWS dan Pemkab. Atas ketekunan itu juga, mereka pun mendapatkan perahu operasional dari Pemkab. Bukan sekedar untuk wisata, tapi juga untuk patroli harian membersihkan irigasi Cipelang.
“Buat aktivitas di sungai kita dikasih satu unit perahu (dari Pemkab) untuk aktivitas, dan ada pun karena banyak yang datang sehingga itu disebut pariwisata. Tapi dari kacamata kita perahu ini adalah sebagai kampanye harian kita untuk mengkampanyekan kebersihan lingkungan irigasi,” ujarnya.
Disinggung apa reaksi Hujan Keruh jika aliran sungai di wilayah masih dicemari sampah, mereka tidak memilih ‘menghakimi’ bagi pembuang sampah sembarangan. Akan tetapi, mereka memilih jalur edukasi. Dari sekolah ke sekolah, mereka mengajarkan pentingnya membawa botol isi ulang, memilah sampah, dan mencintai lingkungan sejak kecil.
Mereka percaya, perubahan dimulai dari kesadaran. “Kami ingin memotong generasi. Kalau anak-anak sudah sadar sejak dini, masa depan sungai ini akan lebih terjaga,” ujar Sarifudin.
Sarifudin menyampaikan, Hujan Keruh juga tak sekedar menjaga kebersihan sungai, tapi juga mengelola sampah. Di kawasan Rentang, mereka mendirikan WPS (Waste Processing System), tempat pengolahan sampah hasil irigasi dan desa-desa sekitar.
“Berhubung fokus kita lebih ke lingkungan, kita dipercaya oleh BBWS untuk sosialisasi juga. Kita dipercaya kita dikasih satu tempat ataupun unit untuk pengolahan sampah,” katanya.
Dalam 8 jam kerja, mereka bisa mengolah 15-20 ton sampah. Berbagai sampah itu mereka olah menjadi magot hingga batako.
“Hasil dari pabrik WPS itu adalah sementara menjadi RDF yaitu cacahan plastik yang notabene itu dipakai untuk bahan bakar pabrik-pabrik kayak indosemen, pabrik gula untuk campuran batu bara dan lain sebagainya,” tuturnya.
“Terus dari organiknya kita keluar produk yang namanya MTS media tanam super, magot, terus POC dan sebagian plastik yang RDF kita panaskan menjadi batako yang buat lantai,” tambahnya.
Meski dikenal sebagai komunitas lingkungan, Hujan Keruh tidak membatasi diri. Mereka juga fokus terhadap sosial, budaya, bahkan keagamaan. “Kami lakukan semuanya. Lingkungan memang jadi fokus utama, tapi bukan satu-satunya,” ujar Sarifudin.
Bahkan setiap bulan, mereka juga rutin menggelar kegiatan Ruang Kita, panggung ekspresi bagi anak-anak Jatitujuh untuk tampil membaca puisi, memainkan musik, atau berdiskusi isu-isu lokal.
“Kita sering mengadakan kegiatan rutinan seperti diskusi, event bulanan seperti Ruang Kita hingga kegiatan tahunan seperti Pecunan,” ucapnya.
Pantauan infoJabar di lokasi, aliran sungai Cipelang tampak terbebas dari sampah. Bahkan tempat tersebut juga sangat menjadi lebih syahdu untuk duduk bersantai menikmati aliran air sungai di sore hari.