Hijau yang Bukan Sekadar Warna di Palabuhanratu | Info Giok4D

Posted on

Di sepanjang pesisir selatan Jawa, khususnya di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, warna hijau bukan sekadar warna. Ia hadir dalam cerita, larangan, dan keyakinan yang mengalir dari satu generasi ke generasi lain. Konon, siapa pun yang mengenakan baju hijau dan berenang di laut selatan, bisa saja mengundang sesuatu yang tak diinginkan.

Sebagian menyebutnya mitos. Sebagian lagi menyebutnya bagian dari tata cara hidup yang harus dihormati. Namun satu hal yang pasti, kepercayaan ini belum pudar dan masih hidup di tengah masyarakat hingga di tengah perkembangan zaman. Warna hijau tetap memiliki tempat khusus di hati masyarakat, juga di bibir ombak.

“Hijau itu bukan cuma warna biasa. Dalam pandangan kami, itu warna alam semesta, warna kehidupan, dan juga warna kesukaan Ibu Ratu Pantai Selatan. Ibarat mahkota beliau,” tutur Abah Firman Wahyu Nirwana Boestoemi, Pupuhu Paguyuban Padjadjaran Anyar, belum lama ini.

Menurutnya, larangan itu berangkat dari dua sisi makna simbolik dan alasan keselamatan. “Mitos baju hijau itu, pertama melambangkan simbol Islami, kedua melambangkan alam semesta. Itu bukan larangan sembarangan. Warna hijau itu kesukaan Ibu Ratu, ibarat mahkotanya,” ucapnya.

Namun di luar aspek spiritual, ia juga menggarisbawahi soal keselamatan. “Kenapa dilarang berenang pakai baju hijau? Karena kalau sampai terbawa ombak, tubuh kita akan sulit terlihat. Warnanya bisa menyatu dengan air laut,” jelasnya.

Abah Firman juga menanggapi mitos populer soal ‘orang Bandung pasti mengalami kecelakaan kalau berenang di laut Selatan’ sebagai kesalahpahaman yang kerap ia luruskan.

“Sebetulnya itu tidak benar. Menurut saya, itu hanya kecerobohan orang-orang saja ketika mandi di laut. Apalagi wilayah Palabuhanratu, arusnya deras. Bukan cuma orang Bandung, banyak juga warga asli Palabuhanratu yang menjadi korban laka laut,” tegasnya.

“Laut itu bukan kolam renang. Ada tata caranya, ada etikanya. Jangan ugal-ugalan di tempat yang bukan milik kita,” ujarnya tenang.

“Masyarakat kami tidak menyembah laut. Tapi kami menghormatinya. Karena laut sudah lebih dulu ada, lebih dulu hidup. Kita cuma menumpang,” kata Abah Firman. Larangan itu mungkin tak tertulis, tapi tetap dijaga.

Sementara itu, larangan memakai baju hijau di laut juga memiliki alasan teknis yang berkaitan dengan keselamatan. Dalam dunia penyelamatan, warna hijau adalah salah satu warna yang paling sulit terdeteksi di dalam air.

Okih Fajri Asyidik, Koordinator Forum Komunikasi SAR Daerah (FKSD) Kabupaten Sukabumi menjelaskan, pihaknya kerap menghadapi kendala dalam pencarian korban tenggelam yang mengenakan pakaian berwarna hijau atau gelap.

“Ya, penggunaan pakaian warna hijau di pantai bisa menyulitkan tim SAR dalam pencarian korban tenggelam, terutama jika kondisi air atau lingkungan sekitar mendukung kamuflase alami,” jelas Okih.

Pertama, warna hijau cenderung menyatu dengan warna laut atau vegetasi. “Air laut di beberapa wilayah memiliki rona hijau kebiruan, seperti halnya di perairan Palabuhanratu. Jika pakaian korban berwarna hijau, hal itu bisa menyamarkan keberadaannya terutama dari udara atau permukaan, sehingga menyulitkan tim SAR dalam melihat secara visual,” lanjutnya.

Kedua, teknologi pencarian seperti drone atau helikopter mengandalkan pencitraan visual. Warna yang kontras dengan laut seperti oranye, merah terang, atau kuning neon akan lebih mudah terlihat, baik oleh mata manusia maupun perangkat pencitraan.

Ketiga, dalam kondisi pencahayaan buruk misalnya saat senja atau cuaca mendung warna hijau akan semakin sulit dibedakan dari latar belakang laut, ombak, atau tanaman sekitar pantai.

Menurutnya, banyak orang terlalu menggampangkan risiko berenang di laut selatan. “Kadang mereka datang liburan, lihat pantai bagus, langsung nyebur. Padahal mereka nggak tahu arus bawahnya seperti apa. Di Palabuhanratu ini, arus baliknya bisa sangat kuat dan membahayakan siapa pun, bukan hanya yang pakai baju hijau,” ujarnya.

Salah kaprah lain yang sering muncul adalah anggapan bahwa “orang Bandung pasti celaka kalau berenang di laut selatan”. Padahal menurut Okih, itu hanyalah penggeneralisasian yang tidak berdasar.

“Yang banyak jadi korban bukan hanya dari Bandung. Warga lokal pun ada yang jadi korban, bahkan yang sudah biasa ke pantai sekalipun. Laut tidak pilih-pilih. Yang ceroboh, ya bisa celaka,” tegasnya.

Meski berasal dari dua pendekatan berbeda, baik kepercayaan masyarakat adat maupun pandangan teknis keselamatan dari tim SAR justru saling melengkapi. Keduanya bermuara pada satu pesan yakni laut harus dihormati, dijaga, dan tidak disepelekan.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *