Heboh Pelajar Diduga Bunuh Diri Usai Dibully gegara Lapor Teman Ngevape

Posted on

Belakangan ini, sedang heboh dibicarakan dugaan kasus bunuh diri, yang dilakukan seorang remaja lelaki di Garut. Konon kabarnya, anak berumur 16 tahun itu bunuh diri, karena tak tahan terus dibully di sekolahnya.

Kabar tersebut pertama kali diketahui, usai ibu dari anak tersebut mengangkat kasusnya, melalui akun Instagram pribadi miliknya.

Seperti dilihat infoJabar, Selasa, (15/7/2025) siang, ada banyak unggahan di fitur Instastory sang ibu, yang menceritakan terkait dugaan aksi bullying yang dialami sang anak di sekolah.

Dalam unggahannya, sang ibu mengaku, jika anaknya menjadi korban bullying usai dituding melaporkan sejumlah siswa nakal yang merokok di sekolah kepada guru.

“Awalnya anak saya di tuduh melaporkan teman2 nya yg nge vape di kelas pdhl dia sama sekali tidak melakukan itu,” ucap ibu korban dalam salah satu unggahannya.

“PD suatu hari anak saya mau di pukul rame2 sama teman sekelas nya tangannya di pegangin dan udh mau d pukulin tapi Alhamdulillah anak sy berhasil kabur ke ruang BK,” ucapnya menambahkan.

Usai kejadian tersebut, kata ibu korban masih dalam unggahan di Instagramnya, korban kemudian menjadi takut untuk hadir di sekolah.

Hingga sampai, anaknya dinyatakan tidak naik kelas. Sang anak bisa melanjutkan sekolah ke kelas 11, dengan catatan harus pindah sekolah, kata sang ibu.

Kisah ini dibagikan sang ibu di Instagramnya sejak pertengahan bulan Juni 2025 lalu. Hingga akhirnya, entah apa yang terjadi, sang anak diduga kuat nekat mengakhiri hidup di rumahnya sendiri pada Senin, (14/7/2025).

Kabar tersebut dibenarkan oleh Kasat Reskrim Polres Garut AKP Joko Prihatin. Menurutnya, saat ini kasus tersebut sedang didalami oleh polisi.

“Kejadiannya sedang kami lakukan penyelidikan,” ungkap Joko kepada infoJabar, Senin siang.

Kasus ini menarik perhatian publik. Banyak warganet yang bersimpati, dan menyuarakan pendapatnya agar kasus tersebut diusut tuntas pihak berwajib sejelas-jelasnya.

Di Instagram, tagar dengan bunyi nama korban bergema dan telah disuarakan ulang oleh lebih dari 8 ribu warganet, sejak hari Senin kemarin.

Terkait kejadian ini, infoJabar sudah berupaya melakukan konfirmasi ke pihak keluarga korban. Upaya yang dilakukan adalah dengan menghubungi salah satu kerabatnya melalui direct message Instagram, namun hingga berita ini dimuat belum ada tanggapan.

Kemudian, infoJabar bersama awak media lain di Garut, pada Selasa siang ini juga mendatangi rumah duka korban yang berlokasi di bilangan Bayongbong, Garut. Namun, pihak keluarga menolak untuk memberikan keterangan karena masih berduka.

Rekan-rekan korban di sekolah mengaku, kaget bukan main ketika mendengar kabar bahwa korban sudah tiada. infoJabar mendapatkan kesaksian dari dua rekan korban di sekolah, yang mengungkapkan kronologi versi mereka.

Menurut keduanya, korban memang sempat terlibat kesalahpahaman bersama rekan-rekannya yang lain. Hal tersebut bermula ketika korban dituding telah melaporkan aksi 9 orang teman sekelasnya yang tengah nge-vape di kelas, ke guru.

“Mereka curiga bahwa korban yang melapor ke guru, karena setelah itu di kelas kita ada razia. Tapi ternyata bukan korban yang melapor,” ucap dua rekan korban. Keduanya adalah pelajar wanita.

Setelah kejadian tersebut, beberapa teman korban meminta maaf kepada korban, atas tudingan tersebut. Namun, diakui rekan-rekannya itu, hubungan antara korban dengan teman sekelasnya menjadi canggung.

Terkait narasi yang menyebut bahwa korban sempat dikeroyok, kedua rekannya ini membantah. Menurutnya, korban memang sempat didatangi dua oknum pelajar yang diduga nge-vape di dalam kelas. Namun, aksi itu dipisahkan teman-teman yang lain, sebelum terjadi perkelahian.

Kemudian, terkait kabar korban yang mengaku dikucilkan di sekolah, keduanya juga membantah. “Kalau kerja kelompok, kita juga selalu masukin korban ke daftar. Tapi memang tidak mengerjakan. Kalau teater juga kita selalu kasih peran utama,” ucapnya.

Kepala Sekolah SMAN 6 Garut Dadang Mulyadi menuturkan, sekolah membantah adanya perundungan yang dialami oleh korban. Menurut Dadang, permasalahan ini justru bermula ketika korban dinyatakan tinggal kelas.

“Sebenarnya ini bermula karena yang bersangkutan tidak naik kelas. Disebabkan ada 7 nilai mata pelajaran itu tidak tuntas,” ucap Dadang.

“Sebelum rapat pleno penentuan, orang tua korban dipanggil oleh guru BK dan wali kelas untuk membicarakan apakah mau dituntaskan atau tidak yang 7 mata pelajaran itu. Dan orang tua sudah menerima,” kata Dadang.

Wali kelas korban di sekolah, Yulia Wulandari juga mengaku, kaget ketika mendengar kabar korban meninggal dunia dan diduga disebabkan oleh perundungan di sekolah.

Sebab, menurutnya, tidak ada perundungan yang dialami korban. “Kita bahkan selalu mengupayakan bagaimana caranya supaya korban tidak tertinggal dari segi pelajaran,” ungkap Yulia.

Yulia menyebut, sebelum ramainya kejadian ini, dia dan orang tua korban rutin berkomunikasi melalui pesan singkat. Dikatakannya, orang tua korban bahkan sering curhat mengenai anaknya. Termasuk bertanya mengenai hubungan asmara korban dengan seorang teman di kelasnya.

“Sering bercerita mengenai kenapa anaknya menjadi berubah semenjak masuk sekolah,” ungkap Yulia.

Di sisi akademis, kata Yulia, terjadi penurunan prestasi yang dialami korban sejak semester 2 kelas 10. Yulia mengklaim jika dia dan guru BK di sekolah telah melakukan beragam strategi untuk mengatrol prestasi belajar korban, tapi tidak berhasil.

“Dan itu diketahui oleh orang tua siswa. Jawabannya silakan saja, ngikut gimana kata sekolah,” ungkap Yulia.

Selain oleh pihak kepolisian, kasus ini juga saat ini dalam penanganan Pemkab Garut dan Pemprov Jabar melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak masing-masing.

Ditemui di rumah duka korban, Senin siang, Wakil Bupati Garut Putri Karlina menuturkan jika kasus ini sudah dalam penanganan pihaknya, sekitar 3 Minggu yang lalu, ketika sang ibu mengangkat kisahnya di media sosial.

“Saya sudah minta tolong untuk PPA mengawal dan sudah dilakukan pendampingan. Jadi sebenarnya agak terkejut ketika harusnya pendampingan selanjutnya tanggal 17 Juli, ternyata sudah keburu dipanggil,” kata Putri.

Menurut Putri, saat ini, pihaknya masih melakukan pengumpulan keterangan ke berbagai pihak yang terseret dalam kejadian ini.

“Memang masih ada perbedaan pendapat. Pandangan antara pihak keluarga dengan pihak sekolah. Nah masih ada perbedaan, jadi pakeukeuh-keukeuh,” ucap Putri.

Putri berharap agar kejadian ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Di sisi lain, kata Putri, pihaknya juga akan menjadikan kasus ini sebagai bahan evaluasi di internalnya.

“Saya juga sudah menghubungi pihak Disdik untuk evaluasi terkait dengan kinerja guru di sana. Kalau memang ada apa-apa, semoga terdeteksi. Karena kan bagaimanapun meskipun SMA itu ranahnya provinsi, tapi tetap yang sekolah ini anak-anak Kabupaten Garut,” pungkas Putri.

Jawaban Pihak Sekolah

Respons Pemkab Garut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *