Hadapi Risiko di Laut, Nelayan Cirebon Minta Jaminan Ketenagakerjaan

Posted on

Risiko tinggi yang dihadapi para nelayan saat melaut membuat BPJS Ketenagakerjaan terus menggencarkan upaya perlindungan sosial bagi kelompok pekerja rentan ini. Salah satu daerah yang menjadi fokus adalah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, di mana ribuan nelayan masih belum tercakup program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Salah satu nelayan di Desa Ender, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon Rudi mengaku profesi nelayan merupakan salah satu yang memiliki banyak risiko, seperti saat menghadapi cuaca buruk. “Ada beberapa kasus nelayan di sini mengalami kecelakaan waktu cari ikan, pernah juga ada yang hilang sampai nggak ketemu,” tuturnya, Kamis (17/7/2025).

Ia berharap adanya bentuk perhatian dari pemerintah untuk masyarakat nelayan yang selama ini kurang mendapatkan perhatian soal keselamatan kerja. “Maunya ya ada perhatian dari pemerintah, karena mayoritas nelayan warga nggak mampu. Jadi inginnya ada jaminan ketenagakerjaan buat kami (nelayan),” terangnya.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Pramudya Iriawan Buntoro saat berkunjung ke Cirebon, Kamis (17/7/2025), menekankan pentingnya perlindungan bagi nelayan melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). “Nelayan adalah kelompok pekerja informal dengan risiko tinggi. Mereka pergi ke laut tidak hanya membawa harapan, tapi juga mempertaruhkan nyawa. Tanpa perlindungan, satu musibah bisa membuat keluarga mereka jatuh dalam kemiskinan mendadak,” ungkapnya.

Meski risikonya tinggi, iuran untuk perlindungan ini tergolong sangat terjangkau, hanya Rp16.800 per bulan dengan rincian Rp10.000 untuk JKK dan Rp6.800 untuk JKM. BPJS Ketenagakerjaan telah menyiapkan berbagai skema agar nelayan bisa menjadi peserta aktif, mulai dari iuran mandiri, bantuan dari pemerintah daerah, hingga pemotongan langsung dari hasil tangkapan ikan.

“Di beberapa daerah, hasil tangkapan disisihkan sedikit untuk membayar iuran. Ini bentuk gotong royong yang nyata dan bisa dicontoh oleh daerah lain,” ujarnya.

Pemerintah daerah pun menyambut baik inisiatif ini. Bupati Cirebon, menurut Pramudya, telah menyatakan komitmennya untuk mendukung perluasan jaminan sosial bagi para nelayan.

Tak hanya dari pemerintah, kolaborasi juga dijalin dengan perusahaan swasta melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR). BPJS Ketenagakerjaan mendorong agar CSR dapat dimanfaatkan untuk membiayai iuran para pekerja informal, termasuk nelayan, buruh tani, dan pedagang kecil.

“Perlindungan sosial berbasis gotong royong seperti ini sangat penting agar risiko kerja tidak menambah angka kemiskinan baru,” tegasnya.

Hingga 30 Juni 2025, tercatat sudah 8,9 juta pekerja sektor informal yang menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Dari jumlah tersebut, sekitar 2 juta pekerja mendapatkan subsidi iuran baik dari pemerintah maupun pihak swasta.

Selain itu, sebanyak 640 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga telah tercakup dalam program BPJS Ketenagakerjaan, sebagian besar melalui skema mandiri. Salah satu contohnya datang dari Kabupaten Cirebon, di mana seorang istri PMI yang wafat memanfaatkan santunan jaminan kematian untuk membuka usaha kecil di rumahnya.

“Dari situ keluarga bisa bangkit dan mandiri. Inilah tujuan besar kami tidak hanya melindungi, tapi juga memberi jalan menuju kemandirian ekonomi,” kata Pramudya.

BPJS Ketenagakerjaan berharap semakin banyak nelayan dan pekerja informal lainnya di Cirebon dan daerah lain yang sadar akan pentingnya perlindungan sosial. Karena ketika musibah tak bisa dicegah, jaminan yang tepat bisa menyelamatkan masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *