Getir di Balik Gemerlap Braga, Jadi Penonton di Rumah Sendiri | Info Giok4D

Posted on

Di tengah riuh turis dan ramainya deretan kafe bergaya kolonial di Jalan Braga, ada kehidupan lain yang sunyi. Hanya berjarak beberapa meter dari kemewahan jalan ikonik itu, Kampung Braga ada menyimpan potret kehidupan yang kontras.

Kehidupan di kampung ini jauh dari bayangan glamor yang melekat pada nama Braga. Mayoritas warganya bekerja serabutan, sebagai buruh harian lepas. Tak sedikit pula yang menganggur atau putus sekolah. Kepemilikan lahan? Masih abu-abu.

Jodi Suzazi, tokoh masyarakat sekaligus Sekretaris RW 8 Kampung Braga, menyebutnya dengan satu istilah, yakni zona merah. Bukan karena kriminalitas, melainkan karena status legal kampung mereka yang terjerat dalam rumitnya rencana tata ruang kota.

“Kita objektif aja ya, menurut RDTR itu Braga itu zona merah dan khusus perdagangan, nggak boleh ada pemukiman warga. Di Braga kan rasio gini kentara, di depan kawasan prime di belakang kumuh, tapi warga mau kemana lagi tempat tinggalnya,” tutur Jodi kepada infoJabar belum lama ini.

“Dan di sini turun-temurun. Masalahnya kepemilikan tanahnya masih awut-awutan. Ada yang tanah pemerintah, ada yang pribadi, ada juga yang nggak jelas asal-usulnya,” imbuhnya sambil menggelengkan kepala.

Ironi paling tajam ketika berbicara soal keterlibatan warga dalam geliat Braga sebagai destinasi wisata unggulan. Jodi menyebut, sebagian besar warga Kampung Braga hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

“Kebanyakan warga di sini cuma jadi penonton. Bahkan saya yakin 90 persen belum pernah jajan di kafe-kafe di Jalan Braga. Ngopi di Braga Permai itu udah dianggap kemewahan buat kami. Mending beli beras,” katanya lirih.

Padahal, jika diberdayakan, warga Kampung Braga memiliki potensi untuk turut serta membangun ekosistem wisata yang inklusif. Namun yang terjadi, menurut Jodi, potensi itu justru lebih banyak dimanfaatkan oleh warga luar.

“Pedagang lukisan, fotografer yang mangkal di Braga itu bukan warga sini. Padahal mereka pakai ruang kami. Tapi ya gimana, warga sini susah untuk bisa ikut karena minim modal, keterampilan, dan dukungan,” ujar dia.

Berbagai upaya pemberdayaan sudah dicoba. Namun, Jodi menyebutnya dengan istilah khas Sunda, dibentuk cicing atau dibentuk lalu dibiarkan. Tanpa pendampingan berkelanjutan dan dukungan dana, program hanya berakhir sebagai gugur kewajiban.

“Yang banyak andil malah pengusaha dari luar, mereka yang kasih sumbangan rutin atau bantu kalau ada acara,” ungkap Jodi

Ditanya soal dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan warga Kampung Braga, Jodi menyebut banyak program hanya berhenti di level seremonial. Sebut saja program Kampung Wisata Kreatif Braga.

“Waktu ada wisata kreatif Braga zaman Mang Oded, kami cuma jadi penonton. Dasarnya ada di perwal, tapi implementasinya? Nggak tahu dari segi anggaran nggak turun, ya kami swadaya aja akhirnya,” jelasnya.

Belum lagi soal banjir tahunan yang selalu menghantui kampung mereka, mengingat lokasinya yang persis di tepi Sungai Cikapundung. Bahkan ketika Wali Kota saat ini, Farhan, datang meninjau banjir belum lama ini, lebih terasa seperti kunjungan simbolik belaka.

“Apalagi sekarang Farhan ya yang belum berpengalaman, kemarin juga ngecek banjir ya seremonial aja. Cuma balik lagi lah, intinya warga di sini prinsipnya karena nggak ada lagi tempat tinggal, sudah zona nyaman, jadi mau gimana pun susah,” tegas Jodi.

Merespons situasi yang ada, Lurah Braga, Willy Wiradhika, punya pandangan berbeda. Menurut dia, tidak semua warga Kampung Braga hanya jadi penonton di rumahnya sendiri.

“Kalau dibilang warga hanya jadi penonton, saya rasa tidak semuanya seperti itu,” kata Willy saat dikonfirmasi, Selasa (23/6/2025).

Menurutnya, kawasan Jalan Braga masuk dalam kategori zona merah berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan Pedagang Kaki Lima (PKL). Artinya, warga tidak bisa begitu saja berdagang di ruang-ruang publik Jalan Braga

Meski begitu, pihak kelurahan tidak tinggal diam. Willy menyebut telah tersedia beberapa media untuk pemberdayaan ekonomi warga, seperti kampung wisata, pojok UMKM, hingga ruang usaha di Teras Braga dan Teras Cikapundung. Sayangnya, keterbatasan lahan membuat program ini belum bisa mengakomodasi semua warga.

“Teras Braga hanya bisa menampung 16 UMKM dan di Teras Cikapundung hanya 14. Jadi baru segelintir yang terfasilitasi. Kami dorong terus, tapi ya step by step, tidak bisa instan,” ujarnya.

Willy juga mencontohkan bahwa sebenarnya sudah ada warga yang memanfaatkan ruang usaha di lingkungan mereka, termasuk di teras rumah atau gang-gang kecil. Ia menyebut pedagang seperti Teh Ida, penjual seblak, sebagai contoh warga yang berhasil menarik pembeli karena inisiatif pribadi.

“Dia laku karena memang mau berdagang. Jadi, menurut saya, bukan tidak ada peluang. Medianya sudah ada, tinggal bagaimana warga menciptakan agar kawasan mereka punya nilai jual, agar wisatawan mau masuk, tidak hanya di Jalan Braga-nya saja,” katanya.

Kendala terbesar, menurut Willy, selain semangat warganya, tetapi ruang fisik yang juga terbatas. Kampung Braga yang padat penduduk dan sempit tak memiliki cukup ruang terbuka untuk dijadikan pusat aktivitas ekonomi.

Belum lagi tantangan dinamika sosial yang membuat konsep kampung wisata berjalan tidak semulus rencana. “Kami terus mendorong cuma karena keterbatasan jadi step by step tidak instan,” jelasnya.

Jalan Santai adalah salah satu rubrik khas di infoJabar yang menghadirkan sisi menarik dan sisi lain dari suatu tempat. Untuk menghadirkan tulisan ini, infoJabar melakukan penelusuran dengan jalan santai dan menghadirkan laporan dengan gaya yang ringan.

Potensi yang Terabaikan

Normatif dan Seremonial

Tanggapan Lurah Braga

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *