Gelombang sanksi yang menimpa Persib Bandung musim ini tak hanya memantik diskusi di kalangan suporter, tetapi juga menarik perhatian peneliti hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto atau yang akrab disapa Eko Maung.
Ia menilai, akar persoalan tingginya denda Persib bukan semata pada regulasi PSSI, melainkan masih kurangnya literasi di kalangan bobotoh.
Diketahui, total denda yang diterima Persib musim 2025/2026 telah mencapai Rp274 juta, baik dari Komdis PSSI maupun AFC. Terbaru, Komdis menjatuhkan tiga sanksi sekaligus usai laga tandang melawan Bali United pada 1 November 2025, dengan total denda Rp115 juta.
Pelanggarannya meliputi kehadiran suporter di laga tandang, penyalaan flare hingga masuk lapangan, serta pelemparan botol.
Di tengah situasi tersebut, Eko menekankan pentingnya peningkatan pemahaman suporter terhadap isu dan regulasi sepak bola.
“Jadi hari ini adalah acara diskusi bersama suporter sepak bola, bobotoh di Kota Bandung terkait literasi, betapa pentingnya literasi untuk suporter sepak bola. Karena dengan literasi yang baik, yang memadai, mereka ini tidak mudah dimanfaatkan,” ujar Eko dalam kegiatan Literasi untuk Suporter Indonesia Naik Kelas di Kota Bandung, Rabu (19/11/2025).
Ia menyinggung mudahnya suporter terombang-ambing isu, seperti perbincangan soal kasus Adam Alis dengan polisi di Malaysia, hingga keramaian terkait denda Persib.
“Saya melihat perkembangan ini kok pada enggak presisi ya. Jadi mereka tuh simpang siur akhirnya jadi gaduh, sayang energinya,” katanya.
Eko menegaskan bahwa sebagian besar sanksi yang menimpa Persib sebenarnya bersumber dari perilaku suporter sendiri. Namun alih-alih mengevaluasi diri, sebagian justru mencari pihak yang bisa dipersalahkan.
“Kayak kemarin Persib disanksi begitu besar sampai ratusan juta itu kan salah suporternya sebetulnya. Tapi suporter yang tidak paham dan mereka emosional, mereka malah nyalahin Komdis, nyalahin otoritas sepak bola. Padahal Komdis itu tidak akan mungkin memberi sanksi jika tidak ada celah,” ucapnya.
Ia juga menyinggung aksi-aksi demonstrasi bobotoh ke Graha Persib beberapa tahun lalu yang justru seringkali tidak jelas tuntutannya. Menurutnya, jika suporter memiliki pemahaman dan gagasan yang lebih konkret, ruang dialog akan terbuka lebih luas.
“Kalau suporter punya literasi yang bagus dan gagasan yang konkret, saya yakinlah pihak-pihak yang mereka kritisi juga mau bertemu, mau berdialog,” ucap Eko.
Eko menjelaskan bahwa dalam sistem sepak bola modern, suporter memegang posisi strategis sebagai kelompok penekan atau pressure group.
“Idealnya mereka walaupun berada di luar sistem, tapi tindak-tanduk mereka bisa mempengaruhi pengambil kebijakan. Dan itu tidak mungkin bisa dilakukan tanpa literasi yang baik,” ucapnya.
Mengenai larangan suporter tandang yang menjadi salah satu akar denda terbesar Persib, Eko mengungkapkan bahwa PSSI sebenarnya beberapa kali berencana mencabut kebijakan itu. Namun bukti di lapangan membuat rencana tersebut tertahan.
“Ini saya sudah sempat ngobrol sama orang PSSI, beberapa kali ini mau dicabut sebetulnya. Tapi kejadian di lapangan menunjukkan selalu ada alasan untuk tidak dicabut, ada kerusuhan,” terangnya.
“Kalau memang mau dicabut, ya buktikan. Tapi ketika yang satu membuktikan, yang lain ricuh. Seperti itu yang terus terjadi. Jadi jangan hanya menuntut, tapi dibuktikan juga,” tegasnya.
Sementara Ketua Viking Farmasi, Kris Jelly yang hadir dalam diskusi mengakui masih kurangnya literasi di kalangan suporter sepak bola, tidak hanya bobotoh. Karenanya pemahaman soal literasi menurut Kris sangat diperlukan oleh suporter.
“Sangat diperlukan apalagi di era sekarang banyak yang belum paham terutama konten di media sosial, kemudian yang menyerang pemain secara pribadi, kalau kritik. Banyak suporter yang belum paham soal itu,” singkatnya.







