Di seberang aliran Kali Cipamingkis, hamparan sawah dan rumah-rumah sederhana di Desa Sukamulya berdiri apa adanya. Namun sejak 2019, ketenangan warga terusik. Pelang-pelang bertuliskan status tanah rampasan negara tiba-tiba berdiri di beberapa titik, seperti Tegalaban, Cangkore, Cimanggu, Gunungsiem, hingga Parungsanten.
“Pelang itu dipasang 2019. Tapi saya sudah mengikuti sejak 2018. Katanya lahan ini masuk blok tanah yang pernah dibebaskan oleh Lee Darmawan Kartaraharja, alias Lek Cingkat, sejak tahun 1982, luasnya sekitar 350 hektare,” tutur Agus Salim, Kepala Seksi Pembangunan Desa Sukamulya, Rabu (24/9/2025).
Warga kaget. Mereka merasa tidak pernah menjual tanahnya. Apalagi sebagian masih turun-temurun dikelola keluarga petani. “Mereka lebih dulu ada di sana, pegang girik. Tidak pernah merasa menjual,” kata Agus.
Di Gunungsiem, tercatat sekitar 20 kepala keluarga hidup dari sawah dan rumah yang berdiri di atas tanah yang kini dipasangi pelang. Kondisi serupa juga terjadi di Parungsanten, ada sekitar 20 keluarga yang mengadu ke kantor desa.
“Mereka datang ramai-ramai, 21 orang, minta penjelasan. Mereka takut, karena di televisi diberitakan seolah-olah satu desa diagunkan,” jelas Agus.
Keresahan itu bukan tanpa alasan. Selama tiga tahun, warga mengalami hambatan layanan administrasi. Urusan segel, jual-beli tanah, hingga akta jual beli di notaris tak bisa diproses.
“Pemda tidak berani melanjutkan karena takut ada blokiran. BPN juga tidak bisa berwenang. Jadi aktivitas pelayanan tanah praktis berhenti,” ungkap Agus.
Meski begitu, ia tetap mengarahkan warga untuk membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun. “Pajak itu kewajiban, untuk negara juga. Jadi tetap harus dibayar,” tegasnya.
Baru sebulan terakhir, blokiran mulai dilonggarkan. Warga kembali bisa mengurus surat menyurat dan transaksi tanah.
“Dulu orang jual tanah susah, hanya bisa pakai kuitansi. Sekarang mulai bisa diaktifkan lagi,” kata Agus, sedikit lega.
Sekitar tujuh kilometer dari kantor Desa Sukamulya, suasana serupa juga terlihat di Desa Sukaharja. Selepas sebuah jembatan yang menjadi batas alam antara dua desa, berdiri deretan pelang dengan tulisan mencolok: “TANAH INI DIRAMPAS / DISITA OLEH NEGARA”, lengkap dengan lambang Kejaksaan Agung di bagian atasnya.
Papan-papan itu menjulang kaku, tanah-tanah tersebut mayoritas diisi ilalang dan pepohonan yang bukan perkebunan. Sebagian berpagar karat penanda bahwa tanah tersebut ada pemiliknya. Sebagian lagi dibiarkan tanpa pagar. Beberapa bangunan yang ada di dalam kawasan tanah yang dipasangi pelang tanpa kosong lama ditinggalkan.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Tidak sulit mencari jejak Lee Darmawan. Data dan dokumen Mahkamah Agung mengarahkan kita ke beberapa berkas kasus yang menyangkut Lee Darmawan. Bisa dikatakan, seluruhnya adalah terkait persoalan tanah. dari mulai perkara mencuat di 1991 sampai dengan 2022 yang terakhir.
Berkas-berkas tersebut tidak hanya menyidangkan perkara sengketa tanah di Desa Sukamulya dan Sukaharja yang saat ini menjadi buah bibir, tapi juga di Jakarta Barat, Tangerang, Serang, bahkan Cianjur. Bahkan beberapa dokumen menyebutkan Lee Darmawan berjejaring dengan para mafia tanah dalam menjalankan modus operandinya.
Tidak hanya di dokumen Mahkamah Agung, kasus Lee Darmawan juga menjadi beberapa objek riset civitas hukum, salah satunya adalah jurnal karya Etty Utju R. di Jurnal Era Hukum No.16/TH 4/1998, yang berjudul, “Pembahasan Tindak Pidana Perbankan Berdasarkan Pemikiran Filsafat Hukum Pidana Nasional (Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1622 K/Pid/1992).
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam makalah Independent Report pada 2003 menyoroti mengenai pengelolaan aset rampasan dari kejahatan Lee Darmawan yang dinilai tidak transparan oleh Kejaksaan Agung kala itu.
Di dalam jurnal Etty Utju diulas perjalanan hukum mantan Direktur PT Bank Perkembangan Asia (BPA), Lee Darmawan Kertarahardja Haryanto alias Lee Chin Kiat, berakhir di Mahkamah Agung. Melalui putusan No. 1622 K/Pid/1991 tertanggal 21 Maret 1992, majelis hakim menolak kasasi yang diajukan Lee dan menegaskan bahwa asetnya dirampas untuk negara c.q. Bank Indonesia.
Kasus bermula dari penyaluran kredit Bank BPA sebesar Rp850 juta pada 30 Desember 1983 kepada PT Perkebunan & Peternakan Nasional Gunung Batu dengan agunan tanah girik seluas sekitar 406 hektare. Kredit bermasalah ini dinilai menimbulkan kerugian negara sehingga Lee didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
Di tingkat pertama, PN Jakarta Barat lewat putusan No. 56/Pid/B/1990 pada 14 November 1990 menyatakan Lee bersalah. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan perkara No. 26/Pid/1991 pada 9 April 1991. Upaya kasasi pun kandas setelah MA menolak seluruh alasan hukum terdakwa.
Amar kasasi tersebut hingga kini menjadi dasar eksekusi aset atas nama Lee Darmawan. Catatan eksekusi menyebut terdapat 24 bidang tanah dan bangunan yang dilelang sebagai barang rampasan negara, meski proses pengelolaan aset sitaan itu sendiri kerap menuai sorotan.
Lee Darmawan adalah bankir yang yang menguasai BPA dengan menguasai 98 persen saham ban. Kasus korupsinya ditaksir merugikan negara sebesar Rp 118 milyar. Adalah Jaksa Chairuman
Harahap, yang menyeret Lee ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat kala itu. Selain pemilik bank, dia juga menjadi nasabah dengan nama samaran dan menyalurkan kredit ke beberapa perusahaan yang dibangunnya.
Tidak cukup divonis korupsi, pada akhir Desember 2006 lalu, hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat memvonis Lee Darmawan dengan hukuman penjara 7 tahun 6 bulan, denda Rp 20 juta atau subsider 5 bulan kurungan, serta harus mengganti kerugian negara sebesar Rp 5,2 miliar.
Lee merupakan terdakwa kasus penjualan tanah-tanah berstatus rampasan negara yang berada di wilayah Kecamatan Kalideres dan Cengkareng, Jakarta Barat. Kasus ini pun menyeret adiknya Wie Hendra Darmawan. Kejahatan ini dilakukan Lee dari balik penjara Cipinang kala itu.
Pada 27 Januari 2020, Lokataru Foundation bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) mendatangi Kejaksaan Agung untuk membahas status aset sitaan milik terpidana BLBI, Lee Darmawan. Mereka menyoroti aset tanah seluas sekitar 11 juta meter persegi yang dirampas negara berdasarkan putusan pengadilan.
Dari jumlah tersebut, sekitar 10 juta meter persegi telah dikembalikan ke Bank Indonesia, sementara sisanya sekitar 1 juta meter persegi belum jelas keberadaannya. Selain itu, Lokataru juga menemukan adanya 800 ribu meter persegi aset Lee yang sempat disita tetapi tidak tercantum dalam putusan, sehingga menimbulkan dugaan adanya aset yang tidak tercatat atau berpindah tangan di luar prosedur hukum.
Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, mendesak Kejaksaan Agung untuk membuka transparansi penuh terkait pengelolaan aset BLBI. Ia memberi waktu satu minggu agar institusi itu menjelaskan ke publik mengenai keberadaan sisa aset yang belum jelas nasibnya.
Sementara itu, Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum kala itu, Hari Setiyono, menegaskan bahwa pihaknya masih menelusuri seluruh aset melalui unit Pusat Pemulihan Aset (PPA).
Gugatan perkara 865/PDT.G/2020/PN Jkt.Brt diajukan PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu Makmur dengan surat tertanggal 25 November 2020, dan terdaftar sehari kemudian, 26 November 2020, melalui e-Court di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Gugatan ini mempersoalkan eksekusi tahun 1993 atas tanah hasil rampasan terkait perkara korupsi BLBI yang menjerat Lee Darmawan Kertarahardja alias Lee Chin Kiat, dengan klaim sebagian lahan di Jonggol adalah milik perusahaan.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Maret 2022 membacakan putusan yang menolak gugatan tersebut untuk seluruhnya. Majelis hakim berpendapat penggugat tidak memiliki bukti kepemilikan sah dan objek gugatan adalah barang bukti perkara pidana yang telah diputuskan untuk dirampas negara.
Sepekan kemudian, pada 23 Maret 2022, penggugat mengajukan permohonan banding. Memori banding diserahkan tanggal 6 April 2022, disusul kontra memori banding dari pihak tergugat pada akhir April 2022.
Proses banding berlanjut di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim melakukan rapat permusyawaratan pada 10 Januari 2023 dan menjatuhkan putusan yang kemudian diucapkan dalam sidang terbuka pada 16 Januari 2023.
Amar putusan menguatkan putusan PN Jakarta Barat, menolak banding penggugat, serta menetapkan status tanah yang disengketakan tetap sah sebagai aset rampasan negara. Dengan demikian, upaya hukum penggugat untuk membatalkan eksekusi tanah rampasan tidak berhasil di dua tingkat peradilan.
Meski dua dekade lebih polemik aset rampasan koruptor ini menuai beragam polemik di publik dan ruang sidang, upaya serius baru terlihat belakangan oleh Kejaksaan Agung. Pada 16 Mei 2024, Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung melalui KPKNL Bogor melelang 11 bidang tanah di Desa Sukajadi, Cibinong, Kabupaten Cianjur, dengan total hasil Rp512,8 juta yang disetorkan ke Bank Indonesia.
Setahun kemudian, pada 12 Agustus 2025, lembaga yang sama kembali melelang 6 bidang tanah di lokasi yang sama dengan hasil Rp435,4 juta. Dengan begitu, total dana hasil lelang aset rampasan Lee mencapai hampir Rp948,3 juta.
Tersisa beberapa aset rampasan di Kabupaten Bogor, yaitu di desa Sukamulya dan Sukaharja yang saat ini menjadi buah bibir masyarakat dan kekhawatiran penduduk yang ada di sekitar tanah yang dirampas oleh negara.