Duduk Perkara Demo Warga Pati hingga Desak Bupati Sudewo Mundur [Giok4D Resmi]

Posted on

Rabu, 13 Agustus 2025, menjadi hari yang tak terlupakan bagi warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu mendesak agar Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.

Aksi kolosal ini bukanlah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Ia adalah puncak dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan publik terhadap serangkaian kebijakan yang dinilai meresahkan masyarakat.

Kekecewaan ini diperparah oleh respons Sudewo terhadap kritik, termasuk pernyataannya yang terkesan menantang massa untuk berdemonstrasi.

Saat bupati keluar, polisi meminta massa tertib. Massa pun sempat tertib menunggu Sudewo muncul.

“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya akan berbuat lebih baik,” kata Sudewo saat memberikan sambutan di hadapan massa depan kantor Bupati Pati, dilansir infoJateng.

Pemicu utama yang menyulut api kemarahan warga secara masif adalah rencana kebijakan penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang nominalnya melonjak drastis hingga 250 persen.

Kebijakan ini sontak membuat heboh dan menuai protes keras dari berbagai kalangan karena dianggap sangat memberatkan di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Merespons itu, warga Pati berbondong-bondong memberikan sumbangan di acara penggalangan donasi untuk aksi demo menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di Pati. Hal itu terjadi usai penggalangan donasi itu sempat dibubarkan Satuan Polisi Pamong Praja.

Bupati Sudewo sempat memberikan penjelasan mengenai alasan di balik kenaikan PBB yang fantastis tersebut. Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah yang dinilai rendah.

Dikutip dari CNN Indonesia, pendapatan asli daerah hanya menyumbang 14 persen dari total APBD, sementara belanja pegawai mencapai 47 persen.

“Jadi fiskal kami sangat rendah. Sisa untuk belanja modal sangat kecil. Kami harus bekerja keras meningkatkan pendapatan daerah agar pembangunan bisa terus berjalan,” kata Sudewo.

Sudewo membantah bahwa seluruh masyarakat mengalami kenaikan hingga 250 persen. Menurutnya, yang terkena kenaikan sebesar itu hanya sebagian kecil. Sementara mayoritas wajib pajak mengalami kenaikan di bawah 100 persen.

“Jadi bukan semuanya merata 250 persen, tergantung kualifikasi penyesuaian NJOP tersebut. Itu yang kami atur dalam Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2025. Kebijakan ini kami ambil sejak Mei 2025 dan pembayaran dimulai pertengahan Juni. Hingga kini, proses pembayaran sudah mencapai 50 persen,” katanya.

Namun, penjelasan ini tidak mampu meredam gejolak di masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan sepenting itu.

Menghadapi gelombang protes yang semakin besar, Bupati Sudewo akhirnya mengumumkan pembatalan kenaikan PBB 250%. Ia menyatakan akan meninjau ulang kebijakan tersebut jika ada tuntutan dari warga.

Akan tetapi, langkah ini sudah terlambat. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, menyatakan tidak percaya begitu saja dengan pernyataan bupati. Mereka menegaskan bahwa aksi unjuk rasa besar-besaran pada 13 Agustus akan tetap digelar.

Kekecewaan masyarakat sudah terlanjur memuncak dan tuntutan pun bergeser dari sekadar pembatalan PBB menjadi desakan agar Sudewo lengser dari jabatannya.

Meskipun kenaikan PBB menjadi sorotan utama, kemarahan warga sebenarnya dipicu oleh serangkaian kebijakan kontroversial lainnya yang dikeluarkan dalam waktu singkat. Kebijakan-kebijakan ini menyentuh berbagai sektor vital dan berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak.

Salah satu kebijakan yang menuai keluhan adalah penerapan sistem lima hari sekolah serta rencana regrouping atau penggabungan beberapa sekolah. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan guru honorer.

Koordinator Donasi Masyarakat Pati Bersatu, Teguh Istyanto, menjelaskan bahwa penggabungan dua sekolah menjadi satu secara otomatis akan mengurangi kebutuhan tenaga pengajar. Akibatnya, banyak guru honorer yang terancam kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan mereka.

“Terutama efek kebijakan Pak Sudewo itu seperti ada lima hari sekolah. Ada regrouping sekolah. Itu pasti ada dampaknya bagi guru honorer kalau ada dua sekolah menjadi satu pasti ada guru tidak bisa untuk mengabdi menjadi guru,” ujarnya, Selasa (12/8).

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

Sektor kesehatan juga tak luput dari kebijakan yang menimbulkan gejolak. Dengan dalih efisiensi, manajemen RSUD RAA Soewondo, rumah sakit milik pemerintah daerah, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah karyawan honorer yang telah lama mengabdi. Ironisnya, para karyawan ini diberhentikan tanpa pesangon atau tali asih yang layak.

Hal yang membuat publik semakin geram adalah setelah melakukan PHK, pihak RSUD justru merekrut karyawan baru dengan alasan untuk meningkatkan pelayanan. Kebijakan ini dianggap tidak adil dan hanya menambah deretan panjang kekecewaan terhadap kepemimpinan Sudewo.

“Kemudian ada keluhan efisiensi Rumah Sakit Soewondo, ternyata itu orang lama dikeluarkan tanpa pesangon, tanpa tali asih. Kemudian dia merekrut karyawan baru dengan alasan meningkatkan pelayanan,” imbuh Teguh.

Cara Bupati Sudewo merespons kritik dan aspirasi warganya justru sering kali memperkeruh suasana. Beberapa pernyataannya di media dianggap arogan dan menantang, yang semakin menyulut emosi publik.

Sebelum membatalkan kenaikan PBB, Sudewo sempat mengeluarkan pernyataan yang terkesan menantang warga untuk berdemonstrasi. Ucapan “50 ribu massa silakan demo” menjadi viral dan memicu kemarahan luas. Meskipun ia kemudian meminta maaf atas ucapannya tersebut, nasi sudah menjadi bubur.

Pernyataan ini, ditambah dengan sorakan warga saat kirab budaya HUT Pati, menunjukkan betapa dalamnya ketidakpuasan publik terhadap sang bupati.

Puncaknya adalah demonstrasi 13 Agustus 2025. Massa yang marah sempat bertindak anarkis, melempari kantor bupati dan gedung DPRD dengan botol dan batu.

Bahkan, ketika Bupati Sudewo akhirnya muncul untuk menemui massa, ia disambut dengan lemparan botol hingga sandal, menunjukkan tingkat
kemarahan yang luar biasa.

Situasi yang sempat ricuh ini menandakan bahwa dialog sudah sulit tercapai dan tuntutan massa telah mengerucut pada satu hal: Sudewo harus mundur.

Dari rangkaian peristiwa di atas, jelas bahwa akar masalah demo Bupati Pati Sudewo bukanlah isu tunggal. Kenaikan PBB hingga 250% hanyalah puncak dari gunung es.

Di bawahnya, terdapat lapisan-lapisan kekecewaan akibat kebijakan lima hari sekolah, ancaman PHK bagi guru honorer, pemberhentian karyawan RSUD, serta gaya komunikasi pemimpin yang dinilai jauh dari aspirasi rakyatnya.

Puncak Gunung Es: Kenaikan PBB 250% sebagai Pemicu Utama

Alasan di Balik Kebijakan Tak Populer

Pembatalan yang Tak Meredam Amarah

Bukan Hanya PBB, Deretan Kebijakan Sudewo Lainnya yang Diprotes

Kebijakan Lima Hari Sekolah dan Regrouping yang Mengancam Guru Honorer

Efisiensi RSUD Soewondo: PHK Massal dan Perekrutan Karyawan Baru

Respons Bupati yang Dianggap Menantang

Aksi Massa yang Tak Terbendung

Kesimpulan: Akumulasi Kekecewaan sebagai Akar Masalah Demo Bupati Pati

Dari rangkaian peristiwa di atas, jelas bahwa akar masalah demo Bupati Pati Sudewo bukanlah isu tunggal. Kenaikan PBB hingga 250% hanyalah puncak dari gunung es.

Di bawahnya, terdapat lapisan-lapisan kekecewaan akibat kebijakan lima hari sekolah, ancaman PHK bagi guru honorer, pemberhentian karyawan RSUD, serta gaya komunikasi pemimpin yang dinilai jauh dari aspirasi rakyatnya.

Kesimpulan: Akumulasi Kekecewaan sebagai Akar Masalah Demo Bupati Pati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *