DPRD Kota Bandung terus mematangkan Rencana Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko. Pansus 14 pun ingin memastikan raperda ini bisa tepat sasaran setelah diberlakukan.
Anggota Pansus 14 DPRD Kota Bandung Nina Fitriana Sutadi mengatakan saat ini raperda masih terus dibahas. Mulai dari penguatan definisi serta penyempurnaan pasal-pasal krusial.
“Pertemuan terakhir pun baru membahas kerangka dasar. Masih banyak yang harus disempurnakan agar perda ini tepat sasaran,” katanya dikutip Jumat (28/11/2025).
Nina menyampaikan keresahan mendalam terkait meningkatnya laporan dan temuan perilaku penyimpangan seksual. Sebab berdasarkan laporan yang ia terima, kasus itu mulai muncul di sejumlah ruang publik maupun lingkungan pendidikan di Kota Bandung.
Ia menyebut banyak orang tua kini merasa cemas dengan perkembangan anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu sekaligus legislator, Nina menilai fenomena itu memengaruhi stabilitas keluarga.
“Saya sebagai ibu sangat takut. Anak-anak bisa tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dalam keluarga itu ada peran ayah dan ibu. Kalau masuk ke perilaku menyimpang, bagaimana masa depannya,” kata Nina.
Nina mengatakan, bahwa laporan masyarakat menunjukkan perilaku tersebut sudah ditemukan bahkan di tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, seperti sekolah dan pesantren. Ia mencontohkan orang tua yang kaget ketika mengetahui anaknya menjalin kedekatan dengan sesama jenis.
Namun, Nina menekankan bahwa penyusunan Raperda oleh Pansus 14 tidak boleh berujung pada kriminalisasi individu. Ia mengaku beberapa pasal dalam draft awal justru belum fokus pada solusi, sehingga masih perlu pembahasan lebih mendalam.
“Setelah saya lihat, masih banyak yang condong ke kriminalisasi, bukan pencegahan. Misalnya soal kewajiban pemeriksaan kepada siswa. Pertanyaannya, bagaimana jika justru pelakunya guru? Itu juga harus diatur,” ucapnya.
Di sisi lain di juga menyoroti kasus yang melibatkan perempuan dan anak yang sering kali menjadi korban sekaligus pelaku. Menurut Nina, penyelesaiannya tidak boleh hanya berhenti pada mediasi antarkeluarga.
“Perempuan dan anak itu sering jadi korban tapi sekaligus dicap pelaku. Mereka harus dilindungi. Jangan hanya selesai dengan ngobrol sesama orang tua. Harus ada terapi dan pendampingan,” pungkasnya.







