Siang itu, di salah satu sudut gazebo kayu yang menghadap langsung ke permukaan tenang Danau Sanghiyangkendit, Desa Cibeureum, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, seorang pria paruh baya tampak duduk santai.
Di depannya terparkir sepeda motor sederhana dengan tumpukan barang yang diikat erat menggunakan tali. Bukan sembarang barang, tumpukan itu adalah amparan, alas dari limbah karung bekas yang telah dijahit rapi dan siap dijual.

Ialah Uci (45), pria asal Kuningan yang telah 13 tahun menggeluti usaha berjualan amparan. Pekerjaan ini ia warisi dari sang ayah. Duduk di bawah teduhnya gazebo, Uci berbagi kisah tentang usaha yang sederhana namun sarat nilai ketekunan dan kreativitas.
“Sudah 13 tahun, meneruskan usaha bapak awalnya. Kalau di Kuningan disebut amparan tapi kalau di Cirebon disebut gelaran. Gunanya khusus buat tempat mengeringkan hasil panen kopi atau padi. Ukurannya ada yang 4 kali 5 meter, ada juga 3 kali 4 meter,” tutur Uci belum lama ini.
Amparan buatannya bukan produk pabrikan. Ia merangkainya dari bahan limbah seperti karung bekas dari pabrik roti di kawasan Karangmuncang, Sangkanurip. Menurutnya, barang bekas itu masih bisa memiliki nilai guna jika diolah dengan baik, daripada hanya menjadi sampah.
“Karung bekasnya dapat beli dari pabrik roti yang di Desa Karangmuncang, Sangkanurip, Kuningan, di situ ada pabrik roti. Daripada dibuang mending diolah,” katanya.
Proses pembuatannya pun dilakukan sendiri dari awal. Uci membeli karung-karung bekas itu, lalu mencucinya bersih menggunakan air dan sabun sebelum dijemur hingga kering. Setelah itu, ia mulai menjahit. Proses ini bisa memakan waktu dan kesabaran tinggi, apalagi jika harus menyambung beberapa karung untuk mendapatkan ukuran amparan yang lebih besar.
“Semuanya dikerjain sendiri. Untuk karungnya itu karung bekas yang cuci lalu dijahit mesin, sehari bisa buat sekodi atau dua puluh biji amparan. Kalau yang lebar itu karungnya disambung-sambung. Diperlukan kesabaran dan kreativitas juga buatnya,” ujar Uci.
Setiap hari, Uci mulai berjualan sejak pukul 08.00 WIB hingga 17.00 WIB. Ia menjajakan amparan seharga Rp25.000 per lembar. Kendati demikian, penghasilan yang diperolehnya tidak selalu stabil. Segalanya tergantung pada musim dan kebutuhan petani.
Jika tengah musim panen, Uci bisa menjual hingga 20 amparan dalam sehari. Namun ketika bukan musimnya, pendapatan cenderung menurun drastis. Untuk menyiasati kebutuhan hidup, ia pun tak segan menjadi kuli bangunan.
“Anaknya dua. Alhamdulillah cukup, kalau lagi sepi itu kerjanya bangunan. Kalau lagi musim panen kelilingnya bisa di mana-mana, kadang di Linggarjati, Cibeureum dan Kaliaren. Kalau jualan yang penting sabar, beda kayak kuli yang sehari Rp100.000-200.000 dapat,” pungkasnya.
Meski tak menapaki jalan yang mudah, Uci tetap bersyukur. Ia bukan hanya sekadar berjualan, tapi juga menjaga warisan kerja keras ayahnya. Di tengah serbuan produk-produk pabrik dan sistem pemasaran digital, Uci tetap bertahan dengan cara tradisional-menjajakan amparan dari satu kampung ke kampung lainnya, menyambung hidup dengan sabar dan tekun.