Di tengah riuh kusutnya tata kelola perberasan tanah air, warga yang bermukim di Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi nampak adem ayem.
Tak ada kepanikan dan kekhawatiran soal kabar tersebut. Meskipun kenyataannya, temuan beras oplosan yang sampai saat ini masih beredar bebas di pasaran juga tak serta-merta menggoyang ketenangan masyarakat Kota Cimahi sepenuhnya.
Namun jika dikupas, kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang tenang-tenang saja jika ada persoalan yang menyangkut beras sebagai makanan pokok orang Indonesia berkaitan dengan tradisi mereka mengonsumsi beras singkong alias rasi.
Ya, tak salah. Sejak ratusan tahun lalu orang-orang di Kampung Adat Cireundeu tak mengonsumsi nasi, namun beras singkong. Mereka mengklaim kebiasaan mengonsumsi beras dari singkong yang diolah sedemikian rupa sudah berlangsung sejak 1918 silam.
“Sejak kecil memang sudah diajarkan orang tua tidak boleh memakan nasi karena sudah ada tuntunan dari leluhur dan berlanjut sampai sekarang,” kata Entis Sutisna (47), warga Kampung Adat Cireundeu yang masih mengonsumsi beras singkong saat ditemui, Selasa (15/7/2025).
Sebagai warga asli Kampung Adat Cireundeu, Entis teguh mempertahankan tradisi peninggalan para pendahulunya. Tradisi dan tuntunan itu bahkan sudah ia tularkan kepada anak-anaknya agar terus berlanjut pada generasi berikutnya.
“Akan terus mempertahankan tradisi ini sampai meninggal, akan konsisten mempertahankan tradisi dan tuntunan adat. Harus berlanjut ke keturunan selanjutnya, sampai sekarang sudah generasi ke empat berarti. Saya sudah ajarkan anak-anak buat menjaga tradisi ini juga,” kata Entis.
Mereka yang memang menerapkan prinsip hidup penghayat kepercayaan di Kampung Adat Cireundeu, berpedoman pada pepatah sunda dari para pendahulu yakni ‘Teu Nyawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat‘.
Jika diartikan ‘Tidak memiliki sawah asal punya beras, tidak punya gabah asal punya beras, tidak punya beras asal bisa memasak nasi, tidak memiliki nasi asal bisa makan, tidak makan asal kuat’.
“Petatah petitih (pepatah) itu disampaikan turun menurun, terasa sampai sekarang. Kami sehat, enggak ketergantungan sama beras. Kami bertani, mengolah singkong sendiri, makan olahan sendiri, tidak bergantung ke pemerintah. Ketika warga lain yang makan beras itu ada aja masalahnya seperti harga mahal, terus sekarang oplosan, kami di sini ya enggak terdampak apa-apa,” kata Entis.
Upaya mempertahankan tradisi mengonsumsi beras singkong dihadapkan pada segala perubahan zaman. Modernisasi, pudarnya kepercayaan pada tuntunan leluhur, hingga pernikahan dengan orang-orang di luar warga Kampung Adat Cireundeu.
“Sampai sekarang yang masih bertahan makan rasi ini ada sekitar 60 kepala keluarga (KK). Ya mudah-mudahan akan terus bertahan dan tradisi ini terjaga,” kata Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi.
Padahal dari perspektif lain, tradisi mengonsumsi beras singkong bisa dimaknai sebagai cara masyarakat tak ketergantungan pada satu sumber bahan pokok makanan di Indonesia yakni beras.
Beras seolah-olah tak bisa digantikan dengan sumber makanan lain. Namun leluhur mereka, beberapa langkah lebih maju ketimbang pemerintah dan masyarakat saat ini. Leluhur mereka seolah-olah sudah tahu kalau di kemudian hari masyarakat bakal ketergantungan pada beras
“Mungkin bisa diubah pola pikirnya, mindset-nya. Kita makan kan tidak harus beras, contohnya ya abah dan orang-orang Cireundeu. Puluhan tahun makan singkong, hidup dengan baik. Sehat, enggak ketergantungan sama beras. Singkong bisa jadi alternatif,” ujar Abah Widi.
Tradisi mengonsumsi singkong juga tidak lahir dari kondisi masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang miskin. Sejatinya, kondisi mereka sebetulnya bisa dikategorikan mampu karena punya sawah dan lahan yang ditanami singkong.
“Cireundeu itu bukan miskin, bukan tidak bisa beli beras, bukan tidak punya sawah. Tapi di dalamnya, ada sebuah tuntunan bukan hanya untuk Cirendeu tapi untuk masyarakat yang ada di negara kita. Dari singkong, leluhur menyampaikan jangan sampai ketergantungan dengan namanya beras,” tutur Abah Widi.
Alasan mereka masih setia untuk mengonsumsi rasi, juga berkaitan dengan hukum adat. Hukum tak tertulis yang mengikat mereka yang lahir di dalam kampung adat. Pun demikian saat warga Kampung Adat Cireundeu mau beralih mengonsumsi beras.
“Kalau kita beralih sembarangan, ada yang namanya pamali. Kalau ingin beralih makan nasi ya harus ada ritual atau selamatan yang bertujuan menolak bala dan pamali agar makanan yang masuk ke tubuh kita tidak menjadi penyakit,” kata Abah Widi.
Ada yang salah dengan tindak tanduk pada diri orang-orang yang dengan sadar mengoplos beras. Ketika moral dan etika dikesampingkan demi mendapat keuntungan dari praktik haram tersebut. Tak apa merugikan orang banyak, asal saku penuh uang.
Kritik itu dilontarkan Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi. Padahal mereka sebetulnya tak pusing dengan segala problematika yang dihadapi masyarakat soal tata kelola beras yang carut marut.
“Ya sebetulnya buat abah dan orang-orang Cireundeu yang makan rasi, tidak ada dampaknya. Cuma kan harus mengkritik juga, buat apa sih beras harus dioplos? Tujuannya pasti mencari keuntungan, karena mau kualitasnya jelek atau harganya mahal masyarakat pasti beli,” kata Abah Widi.
Pemerintah mesti bertanggungjawab pada hajat hidup masyarakatnya. Aturan yang dituangkan dalam undang-undang serta segala turunannya. Negara mesti menjaga hajat hidup mereka yang tinggal di dalamnya.
“Harus dikawal oleh pemerintah,” ujar Abah Widi tegas.
(orb/orb)