Cirebon Timur, Jalan Panjang Menuju Kabupaten Baru

Posted on

Tok! Suara palu paripurna di Gedung DPRD Jawa Barat pada Selasa (10/9/2025) terasa lebih berat dari biasanya. Di ruangan itu, langkah panjang masyarakat Cirebon Timur akhirnya sampai pada babak baru, wilayah yang sejak lama diperjuangkan resmi ditetapkan sebagai Calon Daerah Persiapan Otonomi Baru (CDPOB).

Sorak-sorai memenuhi ruangan. Anggota Forum Cirebon Timur Mandiri yang hadir tak kuasa menahan tepuk tangan, sebagian bahkan berdiri menyambut keputusan itu.

“Sejarah panjang dan pembahasan selama kurang lebih 20 tahun dari tingkat desa sampai kabupaten akhirnya hari ini menapaki babak baru di tingka Provinsi Jawa Barat. Terima kasih kepada rakyat Cirebon Timur,” ucap Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, dalam rapat paripurna.

Pertanyaan formal yang dilontarkannya kemudian seakan menjadi pemimpin koor yang ditunggu-tunggu.

“Selanjutnya berdasarkan hal itu kami mohon persetujuan apakah usulan pembentukan CDPOB Kabupaten Cirebon Timur sebagaimana disebutkan dalam laporan Komisi I dapat disetujui,” sambung Ono.

Jawaban seluruh legislator pun bulat. “Setuju,” seru mereka yang kemudian disambut tepuk tangan panjang.

Wacana pemekaran Cirebon Timur sejatinya bukan hal baru. Sejak era reformasi, gagasan itu sudah muncul. Wilayah timur dianggap terlalu jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon yang berada di Sumber. Akses pelayanan publik, terutama administrasi kependudukan, membuat warga harus menempuh waktu hingga lebih dari satu jam.

“Intinya Cirebon Timur itu aspirasinya sejak dulu, sejak zaman reformasi sudah muncul wacana pemekaran karena memang Cirebon luas sekali, 40 kecamatan, 424 desa dan kelurahan, jumlah penduduk juga sangat besar,” ujar Ono.

Perjalanan panjang itu berkali-kali terhambat, terutama akibat moratorium pemekaran daerah oleh pemerintah pusat. Namun, aspirasi terus hidup di tengah masyarakat. Forum-forum lokal, tokoh masyarakat, hingga akademisi bergantian menghidupkan semangat agar Cirebon Timur bisa berdiri sendiri.

Kajian awal menunjukkan Cirebon Timur meraih skor kelayakan 351 poin, menempati peringkat ke – 6 dari 9 usulan daerah otonomi baru secara nasional. Namun, angka itu masih di bawah standar minimal 400 – 500 poin.

“Masih ada indikator yang harus diperbaiki. Bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan perlu ditingkatkan dengan dukungan APBD Kabupaten Cirebon. Kalau masyarakat sudah satu barisan dan calon ibu kota jelas, tidak ada alasan untuk memperlambat. Yang penting kekurangan indikator segera dipenuhi,” ujar Ono.

Bupati Cirebon, Imron, menilai pemekaran sebagai jawaban atas beban berat yang kini ditanggung daerah induk. Dengan penduduk mencapai 2,4 juta jiwa tersebar di 40 kecamatan, 412 desa, dan 12 kelurahan, pelayanan publik sering dianggap tak maksimal.

“Harapan kami, pemekaran ini benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat, terutama dalam pemerataan pembangunan dan percepatan kesejahteraan,” katanya.

“Dengan kondisi ini, pemekaran menjadi salah satu solusi agar pembangunan lebih merata dan masyarakat bisa merasakan pelayanan yang lebih dekat,” jelasnya menambahkan.

Imron menekankan, pemekaran harus dilihat secara komprehensif.

“Sinergi antara pemerintah daerah dan DPRD sangat penting agar kebijakan yang diambil tepat sasaran dan betul-betul memberi manfaat bagi masyarakat,” tegasnya.

Hasil kajian menetapkan CDPOB Cirebon Timur akan mencakup 16 kecamatan dengan luas 446,57 kilometer persegi. Kecamatan itu meliputi Astanajapura, Babakan, Ciledug, Gebang, Greged, Karangsembung, Karangwareng, Lemahabang, Losari, Pabedilan, Pabuaran, Pangenan, Pasaleman, Sedong, Susukan Lebak dan Waled.

Namun, penentuan ibu kota masih menjadi perdebatan. Pemkab dan DPRD Cirebon memilih Karangwareng, sementara DPRD Jabar bersama tim riset Universitas Padjadjaran merekomendasikan Karangsembung.

Alasan utamanya, Karangwareng berada di jalur Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang berpotensi menghambat pembangunan.

Data BPS memperlihatkan perbandingan detail soal ini. Karangsembung, dengan pusat pemerintahan di Desa Karangsuwung, memiliki luas 18,80 kilometer persegi dan penduduk 37.808 jiwa. Sementara Karangwareng, dengan pusat pemerintahan di Desa Kubangdeleg, lebih luas, 27,16 kilometer persegi, berpenduduk 29.744 jiwa.

Selain itu, muncul pula gagasan mengganti nama daerah menjadi Caruban Nagari untuk memperkuat identitas lokal.

Akademisi Universitas Gunung Jati Cirebon, Khaerudin Imawan, menyebut penetapan CDPOB adalah buah dari perjuangan panjang.

“Semangatnya luar biasa. Bukan karena latah, ini adalah perjalanan panjang teman-teman dari Cirebon Timur,” ujarnya.

“Ini untuk kemandirian, baik secara demografi, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Saya kira pertimbangannya itu. Ini bukan ujug-ujug, tapi sudah melalui perjuangan yang luar biasa,” sambung dia.

Menurutnya, pemekaran ini sejatinya memiliki tujuan yang sangat strategis.

“Pemerataan pembangunan kawasan menjadi prioritas. Selain itu, pengelolaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga harus benar-benar diperhatikan,” ujar Khaerudin.

“Ini penting, walaupun tidak kita bisa kita anggap mendesak. Tapi untuk jangka panjang itu penting. Pelayanan yang selama ini terjadi, seolah-olah wilayah Cirebon bagian timur itu dianaktirikan,” katanya menambahkan.

Ia kemudian memberikan contoh salah satunya soal layanan administratif kependudukan.

“Contoh sederhananya adalah layanan pencatatan sipil, warga Cirebon Timur membutuhkan waktu satu jam lebih ke kabupaten (pusat pemerintahan),” katanya menambahkan.

Khaerudin juga mengingatkan soal pemetaan potensi.

“Tentunya adalah pemetaan sumber daya alam. Indikatornya indikator geografis. Harus dibedah indikator geografisnya. Tinggal diidentifikasi dari setiap kecamatan punya potensinya apa saja,” katanya.

“Misalkan di wilayah pesisir pantai, tentunya potensinya adalah potensi hasil laut. Potensi pertanian yang berdekatan dengan kawasan pesisirnya juga ada. Di antaranya garam dan pertanian-pertanian yang bisa bersinggungan dengan potensi kawasan pantai,” tambahnya.

Potensi destinasi juga ia sorot mulai dari kuliner hingga ragam wisata yang ada di kawasan.

“Ruang destinasi misalkan kulinernya, destinasi wisata, destinasi agro, ruang terbuka hijaunya. Saya kira potensi-potensi itu harus dikembangkan,” katanya.

Optimisme soal pengelolaan potensi yang ada di Cirebon Timur juga diharapkan untuk tetap dijaga.

“Saya meyakini Cirebon Timur itu potensial. Kuncinya adalah bagaimana mengelola potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, yang bisa dikonversi menjadi sumber daya lainnya,” ucapnya.

Meski sudah menyandang status CDPOB, Cirebon Timur belum sepenuhnya bisa berdiri sendiri. Persetujuan ini baru akan bergulir ke pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, sembari menunggu moratorium pemekaran daerah dicabut. Hal ini diungkap Sekda Jabar, Herman Suryatman.

“Kami masih menunggu, tentu itu domain pemerintah pusat. Sambil menunggu kita manfaatkan untuk kroscek, baik demografi, geografi, sosial budaya, politik, ekonomi, kapasitas fiskal, maupun tata kelola pemerintahan. Mudah-mudahan setelah moratorium dibuka, Kabupaten Cirebon Timur bisa sesuai harapan,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Semua ini kami persembahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, kualitas pembangunan, dan pemberdayaan, agar pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya,” sambungnya.

Euforia paripurna DPRD Jabar hanyalah satu etape dari jalan panjang Cirebon Timur menuju kabupaten baru. Skor kelayakan masih harus ditingkatkan, polemik ibu kota perlu diputuskan, dan moratorium pusat belum tentu cepat berakhir.

Namun, bagi masyarakat timur Cirebon, keputusan ini sudah cukup menjadi pelecut semangat. Aspirasi yang semula lahir dari ruang desa kini bergema hingga ke gedung dewan provinsi. Sejarah panjang yang ditapaki selama dua dekade lebih akhirnya membuka pintu, meski belum sampai di garis akhir.

Dua Dekade Perjuangan

Skor Kelayakan

Beban Berat Kabupaten Induk

Peta Wilayah dan Polemik Ibu Kota

Pandangan Akademisi

Menunggu Pusat

Akademisi Universitas Gunung Jati Cirebon, Khaerudin Imawan, menyebut penetapan CDPOB adalah buah dari perjuangan panjang.

“Semangatnya luar biasa. Bukan karena latah, ini adalah perjalanan panjang teman-teman dari Cirebon Timur,” ujarnya.

“Ini untuk kemandirian, baik secara demografi, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Saya kira pertimbangannya itu. Ini bukan ujug-ujug, tapi sudah melalui perjuangan yang luar biasa,” sambung dia.

Menurutnya, pemekaran ini sejatinya memiliki tujuan yang sangat strategis.

“Pemerataan pembangunan kawasan menjadi prioritas. Selain itu, pengelolaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga harus benar-benar diperhatikan,” ujar Khaerudin.

“Ini penting, walaupun tidak kita bisa kita anggap mendesak. Tapi untuk jangka panjang itu penting. Pelayanan yang selama ini terjadi, seolah-olah wilayah Cirebon bagian timur itu dianaktirikan,” katanya menambahkan.

Ia kemudian memberikan contoh salah satunya soal layanan administratif kependudukan.

“Contoh sederhananya adalah layanan pencatatan sipil, warga Cirebon Timur membutuhkan waktu satu jam lebih ke kabupaten (pusat pemerintahan),” katanya menambahkan.

Khaerudin juga mengingatkan soal pemetaan potensi.

“Tentunya adalah pemetaan sumber daya alam. Indikatornya indikator geografis. Harus dibedah indikator geografisnya. Tinggal diidentifikasi dari setiap kecamatan punya potensinya apa saja,” katanya.

“Misalkan di wilayah pesisir pantai, tentunya potensinya adalah potensi hasil laut. Potensi pertanian yang berdekatan dengan kawasan pesisirnya juga ada. Di antaranya garam dan pertanian-pertanian yang bisa bersinggungan dengan potensi kawasan pantai,” tambahnya.

Potensi destinasi juga ia sorot mulai dari kuliner hingga ragam wisata yang ada di kawasan.

“Ruang destinasi misalkan kulinernya, destinasi wisata, destinasi agro, ruang terbuka hijaunya. Saya kira potensi-potensi itu harus dikembangkan,” katanya.

Optimisme soal pengelolaan potensi yang ada di Cirebon Timur juga diharapkan untuk tetap dijaga.

“Saya meyakini Cirebon Timur itu potensial. Kuncinya adalah bagaimana mengelola potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, yang bisa dikonversi menjadi sumber daya lainnya,” ucapnya.

Meski sudah menyandang status CDPOB, Cirebon Timur belum sepenuhnya bisa berdiri sendiri. Persetujuan ini baru akan bergulir ke pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, sembari menunggu moratorium pemekaran daerah dicabut. Hal ini diungkap Sekda Jabar, Herman Suryatman.

“Kami masih menunggu, tentu itu domain pemerintah pusat. Sambil menunggu kita manfaatkan untuk kroscek, baik demografi, geografi, sosial budaya, politik, ekonomi, kapasitas fiskal, maupun tata kelola pemerintahan. Mudah-mudahan setelah moratorium dibuka, Kabupaten Cirebon Timur bisa sesuai harapan,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Semua ini kami persembahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, kualitas pembangunan, dan pemberdayaan, agar pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya,” sambungnya.

Euforia paripurna DPRD Jabar hanyalah satu etape dari jalan panjang Cirebon Timur menuju kabupaten baru. Skor kelayakan masih harus ditingkatkan, polemik ibu kota perlu diputuskan, dan moratorium pusat belum tentu cepat berakhir.

Namun, bagi masyarakat timur Cirebon, keputusan ini sudah cukup menjadi pelecut semangat. Aspirasi yang semula lahir dari ruang desa kini bergema hingga ke gedung dewan provinsi. Sejarah panjang yang ditapaki selama dua dekade lebih akhirnya membuka pintu, meski belum sampai di garis akhir.

Pandangan Akademisi

Menunggu Pusat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *