Cerita Kesetiaan Marno dan Bunga Tabur

Posted on

Sudah puluhan tahun Marno (50) menjadi penjual bunga tabur. Bersama istrinya, sore itu, di depan pintu masuk pemakaman umum Pegambiran, Kota Cirebon, Marno tampak sedang duduk sambil menunggu pembeli yang datang ke lapaknya.

Marno memaparkan, dirinya sudah berjualan bunga tabur sekitar tahun 1990-an. Mulanya, berjualan bunga tabur merupakan profesi yang dilakoni keluarga istrinya yang berasal dari Desa Gesik Blok Kembang, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon.

“Lama jualannya, ada 30 tahun mah, pas itu jualan bunga hias juga, yang dijual ada bunga melati, bunga kenanga, bunga rambe, bunga kingkong, bunga soko, bunga selasih, mawar,” tutur Marno, belum lama ini.

Seperti namanya, mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Gesik Blok Kembang adalah penjual kembang atau bunga tabur dan alat-alat untuk keperluan tradisi. Menurutnya, profesi menjadi penjual bunga merupakan profesi yang diwariskan secara turun-temurun.

“Dari istri saya yang asli orang sana, Istri saya jualan sudah turun-temurun, dari neneknya, bapaknya sampai istri saya, kebanyakan penjual bunga. Emang kebanyakan dari Desa Gesik Kembang, turun-temurun di sana mah,” tutur Marno.

Menurut Marno, dulu lapak bunga taburnya selalu diserbu pembeli. Dalam sehari, Marno bisa menjual 100 kilogram bunga tabur. Aneka bunga tabur tersebut Marno dapatkan dari petani di desanya.

Salah satu jenis bunga tabur yang paling laku kala itu adalah bunga selasih. Dalam sehari, Marno bisa menjual ribuan ikat bunga selasih apalagi ketika di momen hari besar seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idulfitri, atau Iduladha.

“Zamannya Soeharto mau lengser tahun 1997-1998 itu ramai. Kalau bunga selasih tuh kadang bisa habis 90 petak. ada 1.000 iket lebih, pas itu harganya Rp 500 perak, tapi habis semobil, enak dulu, penjual bunga masih sedikit, dulu jualan setahun tuh bisa beli tanah, ” tutur Marno.

Namun, itu dulu. Sekarang pendapatan Marno dari berjualan bunga tabur menurun drastis. Jika dulu Marno bisa menjual 100 kilogram bunga tabur, kini paling banyak Marno hanya bisa menjual 15 kilogram bunga tabur. Karena jumlah yang terjual sedikit, Marno juga mendapatkan bunga tabur dengan cara menanam sendiri.

Menurut Marno, menurunnya pendapatan dari berjualan bunga tabur disebabkan karena sudah banyaknya penjual bunga tabur. Hampir di setiap makam, kini sudah ada penjual bunga tabur.

“Dulu beli sekarang nanam sendiri, sekarang mah cuman 15 kilogram paling, padahal dulu bisa hampir 100 kilogram, kadang pendapatannya nggak menentu, apalagi kalau hujan, itu nggak ada orang, kan becek, sekarang harganya Rp 2.000 – Rp 3.000, paling dapat Rp 200.000 sehari,” tutur Marno.

Marno sendiri akan berjualan di permakaman setiap hari Kamis dan Jumat, di luar hari tersebut Marno akan berjualan di Pasar Pronggol. Bersama Istrinya, Marno berjualan bunga tabur dari pukul 05.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.

Meskipun pendapatannya tidak menentu, tapi, Marno masih akan tetap berjualan bunga tabur. Selain untuk mencari nafkah, alasan lain Marno tetap berjualan bunga tabur adalah untuk menjaga tradisi dalam keluarga istrinya yang sudah turun-temurun berjualan bunga tabur.

“Anaknya 2 sudah besar-besar, sudah kerja semua, disyukurin saja, yang penting kitanya sehat,” pungkas Marno.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *