Di satu malam, aroma khas kandang bercampur bau amis darah segar memenuhi area Rumah Potong Hewan (RPH) Ciroyom, Kota Bandung. Di tengah riuh suara sapi yang sesekali melenguh gelisah, seorang pria berseragam kusam tampak sibuk membersihkan dan mengguyur lantai yang memerah dengan seember air.
Namanya Dito, 57 tahun, seorang Juleha (Juru Sembelih Halal) yang sudah 30 tahun lebih mengabdikan diri pada profesi ini. Dito menceritakan awal mula dirinya menjadi tukang potong hewan hingga kini.
“Saya mulai jadi Juleha tahun 1994. Awalnya cuma ikut-ikut teman, lihat-lihat dulu. Lama-lama belajar sendiri, otodidak,” katanya saat berbincang dengan infoJabar.
Tak seperti kebanyakan profesi lain yang bisa dipelajari dari bangku sekolah, Dito menempuh jalan yang sepenuhnya mandiri. Ia belajar langsung dari menyaksikan, membantu, hingga akhirnya bisa menyembelih sendiri.
Tapi menjadi Juleha bukan sekadar urusan teknis memotong leher hewan kurban. Ada syariat yang harus dijaga dan ada etika yang harus ditegakkan.
“Yang paling penting itu cara menjatuhkan sapi. Harus tahu tekniknya biar nggak bikin sapi itu kesakitan. Kalau salah, sapi bisa berdiri lagi, ngamuk. Itu bisa mencelakakan,” ujarnya.
Bagi Dito, menyembelih selain menjadi ladang rezeki adalah tugas mulia. Proses penyembelihan juga dilakukan tak sembarangan. Sebelum pisau menyentuh kulit leher, harus ada doa yang dibaca hingga serah terima hewan.
“Pasti ada (ritual), baca doa. Harus ada serah terima juga dari pak ustadz, kita memotong sesuai syariat,” ungkap Dito.
Dari kesehariannya di RPH, Dito telah melalui ribuan kisah. Namun ada satu pengalaman yang tak pernah ia lupakan yakni saat harus menghadapi sapi stres yang kabur dan mengamuk.
Menurutnya, sapi yang terlalu lama di perjalanan cenderung panik dan bisa kehilangan kendali. Dito bahkan beberapa kali harus berlarian mengejar sapi yang melarikan diri.
“Beberapa kali kejadian. Tiba-tiba sapi loncat, lepas, terus lari sambil ngeluarin suara keras. Bisa bahaya banget kalau nabrak orang. Tapi untungnya tidak pernah ada korban,” kenangnya.
Saat Idul Adha, beban kerja meningkat drastis. Dalam satu hari, Dito bisa menyembelih hingga 40 ekor sapi, kadang lebih.
“Saat Idul Adha itu bisa motong sampai 40 ekor sehari, kadang lebih. Kalau hari biasa paling 10 ekor lah,” terangnya.
Meski usianya tak lagi muda, tangan Dito tetap cekatan. Dari profesinya ini, Dito bersyukur bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di rumah. “Kalau penghasilan Alhamdulillah cukup, disyukuri aja,” turun Dito.