Keriput memang sudah memenuhi jemarinya. Tapi saat bekerja, pria yang sudah berusia 67 tahun itu nampak begitu telaten menyulam benang dan memodifikasi pakaian sesuai kebutuhan.
Namanya adalah Dadang Somara. Sehari-hari, ia bekerja sebagai tukang jahit jalanan di kawasan Kosambi, Kota Bandung. Sebuah lapak sederhana bermodal meja rakitan pun menjadi tempatnya dalam urusan mencari nafkah.
Dalam perbincangannya bersama infoJabar, Dadang telah memulai usaha itu sejak tahun 2002 silam. Keputusannya menekuni kerjaan ini karena Dadang baru saja memutuskan berhenti sebagai buruh pabrik pembuatan lemari berbahan kain.
“Karena pas kerja di pabrik juga ngejahit. Dulu kerja itu dari tahun 80an, terus berhenti,” kata Dadang dalam perbincangannya belum lama ini.
infoJabar pun seolah dibawa ke mesin waktu saat Dadang membagi obrolannya. Kebetulan, perbincangan dengannya menjadi semakin syahdu sembari ditemani secangkir kopi hitam di saat Kota Bandung sedang diguyur gerimis hujan.
Melanjutkan perbincangannya, Dadang pun mengaku awal menekuni usaha itu dengan modal seadanya. Ia pada saat itu sadar betul tak bisa menggantungkan hidup keluarganya dari siapapun, dan akhirnya memilih usaha sebagai tukang jahit jalanan.
Sebagaimana usaha yang sedang dirintis seseorang, Dadang juga merasakan pahitnya kondisi sepi dari pelanggan. Tapi, ia memilih tetap sabar dan memberikan kualitas pekerjaan yang sepadan kepada orang yang datang menggunakan jasanya.
Perlahan, usaha Dadang mulai laris didatangi orang-orang. Obrolan pelanggan dari mulut ke mulut soal kualitas jasa jahit Dadang menjadi faktor yang ia jaga betul agar usahanya terus bertahan.
“Alhamdulillah. Dari pelanggan yang pertama kali ke sini aja, pas mau jahit lagi, dia pasti enggak mau ke yang lain. Bahkan sok aya yang milih enggak jadi jahit kalau saya lagi enggak ada,” begitu lah ceritanya.
Selama hampir 20 tahun menekuni usahanya, Dadang pun telah melewati beberapa generasi pelanggannya. Yang paling ia ingat, saat melayani anak-anak sekolah untuk keperluan memotong pakaiannya yang kebesaran.
Di era itu, mode celana pensil, begitu lah orang-orang kerap menyebutnya, menjadi primadona di kalangan siswa. Dengan telaten, Dadang selalu melayani permintaan itu meskipun diam-diam ia juga dibuat geleng-geleng kepala.
“Karena saya mah suka mikir, itu zaman dulu ngapain yang sekolah celananya di gitu-gitu. Sok diheureuyan ku saya, katanya mah biar gaya,” ucap Dadang sembari terkekeh menahan tawa.
Bukan hanya itu saja. Dadang pun terbilang punya prinsip yang selalu ia pegang saat melakoni pekerjaannya. Dadang mengaku tak pernah mau ketika diminta untuk berkerja di tempat konveksi, meskipun bayarannya tentu menggiurkan.
Sederhananya, kata Dadang, jika bekerja kepada seseorang, tentu dia punya atasan dan ditarget sesuai pekerjaan. Sedari dulu, ia tak pernah mau melakoni hal itu karena waktunya nanti akan terbatas dan tidak bisa menjalani kehidupan dengan santai.
“Enggak pernah, sep. Mang mah enggak pernah mau. Banyak padahal yang nawari, cuma mang mah enggak mau kalau punya bos. Kerja ditarget, cape, jadi mending gini weh di jalan,” ucapnya.
Kemudian, Dadang juga enggan mengambil orderan untuk membuat pakaian baru sesuai permintaan. Bukannya tidak mampu, Dadang justru menghindari tawaran itu karena khawatir pakaian jahitannya nanti tidak sesuai dengan ekspektasi pelanggannya.
Padahal, jika mau menerima tawaran tersebut, ongkos jahitnya bisa mencapai penghasilan Dadang dalam sehari bekerja. Jadi saat ini, Dadang hanya membuka jasa pemotongan pakaian, baik itu baju atau celana, dengan bayaran di kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu per pekerjaan yang ia selesaikan. “Yang penting mah bisa kebeli beras buat di rumah weh, sep, udah cukup,” begitu lah jawaban Dadang dengan kesederhanaannya.
Mengakhiri perbincangannya, Dadang mengatakan di usainya yang sekarang, ia tak begitu terlalu terobsesi untuk bekerja terus bagai kuda. Jika sehari sudah mendapatkan uang Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu, Dadang sudah merasa cukup dan tinggal pulang ke rumah membawa uang tersebut.
Karena, ada satu prinsip yang sedari dulu terus Dadang jaga. Baginya, rezeki sudah diatur Yang Maha Kuasa, dan ia hanya perlu mensyukuri kehidupannya sekarang di usia tuanya.
“Yang penting cukup buat besok weh, Alhamdulillah. Jadi besok tinggal kerja lagi. Terus kalau pengen apa gitu, ya tinggal nabung. Jangan sampe mandangnya ke atas terus, matak stress sep,” kata Dadang menutup perbincangannya dengan infoJabar.