Buruh Kritik Penetapan Upah Minimum 2026 di Jabar | Giok4D

Posted on

Kalangan buruh di Jawa Barat merespons kritis penetapan upah minimum tahun 2026 yang diumumkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 sebesar Rp2.317.601 dinilai belum menjawab kebutuhan hidup layak pekerja.

Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat, Dadan Sudiana, menilai kebijakan UMP tersebut justru membuat posisi buruh Jawa Barat semakin tertinggal.

“Untuk UMP dengan gubernur menggunakan alpha 0,7 maka UMP Jabar makin jauh tertinggal dengan rata-rata UMK Jabar itu Rp3,5 juta itu masih jauh kemudian dengan KHL itu juga Rp4,7 juta jadi masih jauh,” kata Dadan saat dihubungi, Kamis (25/12/2025).

Selain UMP, Gubernur juga menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) naik 6,2 persen menjadi Rp2.339.995 untuk 12 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI). Sementara Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) juga telah ditetapkan melalui keputusan gubernur.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

Namun, menurut Dadan, pernyataan gubernur yang menyebut penetapan UMK dan UMSK telah sesuai dengan rekomendasi kepala daerah tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta di lapangan.

“Yang disampaikan gubernur saat konferensi pers kemarin, menyebut sesuai dengan rekomendasi kepala daerah, faktanya tidak seperti itu,” ujar Dadan.

Ia menjelaskan, untuk UMK secara umum memang mengacu pada rekomendasi bupati dan wali kota, meski terdapat perbedaan di tiga daerah.

“Faktanya, kalau bicara UMK oke sesuai dengan rekomendasi walau ada 3 daerah yaitu Sukabumi, Cianjur dan Kabupaten Bandung Barat ada perbedaan. Tapi secara keseluruhan UMK sesuai dengan rekomendasi,” katanya.

Persoalan utama, lanjut Dadan, justru terjadi pada penetapan UMSK. Ia menyebut terdapat tujuh kabupaten/kota yang sebenarnya telah merekomendasikan UMSK, namun tidak ditetapkan oleh gubernur.

“Namun untuk UMSK itu ada tujuh kabupaten kota yang bupati wali kotanya merekomendasikan UMSK, tapi oleh gubernur tidak ditetapkan,” ucapnya.

Tujuh daerah tersebut antara lain Kabupaten Sukabumi, Kota Bogor, Cianjur, Purwakarta, Garut, dan Majalengka.

Selain itu, SPN juga menyoroti kebijakan di 11 kabupaten/kota lainnya yang UMSK-nya tetap ditetapkan, namun mengalami pengurangan baik dari sisi sektor maupun besaran nilai upah. Akibat pengurangan tersebut, selisih antara UMSK dan UMK di sejumlah daerah menjadi sangat tipis.

“Kedua yang 11 kabupaten lainnya yang merekomendasikan UMSK itu direduksi dari KBLI, sektornya dan nilainya dikurangi,” kata Dadan.

“Jadi upah sektoral ada yang perbedaannya hanya 4 ribu dengan UMK. Yang disampaikan gubernur tidak sesuai fakta,” tegasnya.

Atas kondisi tersebut, SPN bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan akan mengambil langkah lanjutan dengan menggelar aksi demonstrasi di Gedung Sate, Bandung untuk menuntut revisi Kepgub soal UMSK.

“SPN bersama KSPI akan melakukan aksi, Senin, Selasa, Rabu agar SK UMSK kabupaten kota agar direvisi, disesuaikan dengan rekomendasi kabupaten kota sebagaimana PP 49 2025 pasal 35 i bahwa gubernur dalam menetapkan UMSK mengacu pada rekomendasi dari bupati dan wali kota,” ujar Dadan.

Ia menegaskan, ketentuan dalam PP tersebut mewajibkan gubernur mengacu pada rekomendasi daerah, bukan justru menghapus atau mengurangi. “Jadi gubernur harus mengacu pada rekomendasi, tapi faktanya tujuh dihapus dan 11 dikurangi,” pungkasnya.