Ayah di Sukabumi Mencari Keadilan

Posted on

Suasana acara anggota DPR RI dengan LPSK RI di salah satu hotel di Kota Sukabumi mendadak tegang. Seorang pria tiba-tiba berdiri, menggenggam amplop cokelat sambil bersuara lantang. Ia adalah DS (43), seorang ayah yang mengaku masih berjuang mencari keadilan untuk anaknya L (9) yang diduga korban kekerasan.

Di depan Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Dewi Asmara dan tamu undangan, D menyampaikan unek-uneknya dengan nada emosional.

“Saya sudah berjuang dengan sangat sabar, semua prosedur sudah ditempuh sesuai aturan. Tapi saya malah dituduh mencari uang, direkayasa, dan itu semua menggagalkan usaha pencarian keadilan,” ujarnya dengan suara bergetar, Rabu (15/10/2025).

D mengungkap, kasus anaknya sempat di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) meski menurutnya bukti sudah jelas. Ia menuding ada kejanggalan karena kasus yang saling berkaitan justru dipisah oleh penyidik.

“Itu satu rangkaian dengan peristiwa pertama yang membuktikan sudah terjadi pidana, tapi malah di-SP3. Katanya dipisah karena pelakunya dewasa dan anak. Padahal kejadiannya di waktu yang sama,” kata Dudi menahan amarah dengan mata memerah.

Menurut D, anaknya kini mulai kembali bersekolah, namun masih dalam pendampingan medis. Ia juga menuding ada manipulasi data nilai dan rapor anaknya yang disebut-sebut sebagai hasil kesepakatan dengan pihak lain.

“Selama dua tahun anak saya nggak sekolah, tapi nilai dan rapor direkayasa. Itu dipalsukan, dimanipulasi,” ujarnya.

Secara fisik, Dudi menyebut sang anak masih menanggung dampak serius dari kekerasan yang dialaminya. Bahkan anaknya masih mengalami trauma.

“Anak saya masih sering sakit kepala, sulit bernapas, bahkan nggak bisa buka mulut karena bantalan engsel bergeser. Liver-nya juga membengkak karena dulu dicekoki obat,” bebernya.

Di akhir penyampaiannya, D berharap pertemuannya dengan anggota DPR RI dan LPSK menjadi momentum agar kasus anaknya kembali diperhatikan aparat penegak hukum.

“Saya berharap ini jadi perhatian. Karena sebelumnya, saya sudah masuk ke LPSK dan alhamdulillah mereka pernah menyelamatkan saya dari upaya kriminalisasi. Waktu itu kami terselamatkan,” tuturnya.

Aksi spontan Dudi ini terjadi dalam forum bertajuk ‘Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana’ yang digelar di Hotel Horison Sukabumi. Momen tersebut sempat membuat peserta memanas, sebelum akhirnya forum kembali dilanjutkan dengan pembahasan terkait perlindungan korban tindak pidana.

Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara langsung menanggapi hal tersebut. Dia mengatakan, keadilan bukanlah bentuk kepuasan dari penyelesaian kasus ataupun peristiwa.

“Tapi mohon maaf saya langsung jawab dengan jelas, keadilan itu bukan kepuasan tapi keadilan itu adalah bagaimana memperoleh keadilan itu sesuai dengan fakta, mungkin di dalam kasus ini kurang saksi sehingga begitu saja terjadi SP3 karena kasusnya tidak lengkap,” kata Dewi.

Meski demikian, ia menaruh perhatian khusus terhadap apa yang dialami keluarga DS. Dia juga mengungkapkan, bahwa hukum tidak memandang kepuasan seseorang melainkan tergantung pada saksi, korban dan alat bukti.

“Tetapi tentunya ini akan jadi perhatian, perlindungan apa yang bisa diberikan negara oleh LPSK tapi yang jelas tidak mungkin bahwa dalam suatu sistem keadilan saya mengatakan yang jahat pasti masuk penjara, belum tentu, yang menang pasti menang, belum tentu. Karena hukum tidak berbicara mengenai kepuasan tapi hukum berbicara mengenai fakta, alat bukti dan saksi,” jelasnya.

Sementara Wakil Ketua LPSK RI Wawan Fahrudin mengatakan, akan mengecek terlebih dahulu kasus dugaan kekerasan pada anak usia 9 tahun. Dia menjelaskan, status perlindungan saksi berhenti saat SP3 ditetapkan.

“Saya akan cek itu kan tadi lihat putusan dari sidang Mahkamah Pimpinan LPSK itu tertanggal Februari 2024 perlindungan yang diberikan itu perlindungan hukum artinya yang bersangkutan ini tidak bisa diproses oleh aparat penegak hukum sebelum laporan yang dari tindak pidana awal itu bersifat tetap atau diputuskan pengadilan secara inkrah dan putusan pengadilan itu terkait dengan perlindungan hukumnya sudah dijalankan oleh aparat penegak hukum,” kata Wawan.

Dia mengatakan, berdasarkan berkas yang dibawa DS terdapat beberapa rekomendasi kepada UPTD PPA Jawa Barat. Pihaknya akan mengecek kembali terkait penerapan rekomendasi tersebut.

“Karena tadi disampaikan sudah SP3 kalau memang ada bukti-bukti baru kemudian ada permohonan ulang kita akan melakukan assessment. Iya putus (perlindungan LPSK) kalau memang SP3, yang pasti akan berhenti perlindungan LPSK. Nanti kita akan coba lihat apakah ada bukti-bukti baru atau permohonan ulang sepanjang ada proses hukum kita memberikan perlindungan,” jelasnya.

Pada Juli 2024 lalu, polisi menghentikan penyelidikan kasus dugaan bullying yang terjadi di salah satu sekolah swasta di Kota Sukabumi. Kasus itu dihentikan lantaran polisi menilai tidak ditemukan bukti tindak pidana.

“Ya kita sudah menghentikan penyelidikan perkara yang dilaporkan saudara D dugaan bullying anaknya L,” kata Kapolres Sukabumi Kota AKBP Rita Suwadi saat itu.

Dia mengatakan, sejauh ini sudah ada 32 saksi dan empat orang ahli yang diperiksa, di antaranya ahli psikolog forensik dari UPTD PPA Provinsi Jawa Barat, dokter spesialis penyakit dalam RS Rido Galih, dokter spesialis anak RS Hermina dan dokter spesialis bedah saraf RSUD Syamsudin.

Dia mengatakan, dari seluruh saksi yang diperiksa tidak cukup untuk menaikkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. Sehingga, kata dia, dugaan bullying tersebut tidak dapat dibuktikan.

Sementara itu, dokter-dokter diperiksa melalui rekam medis anak L (9). Menurutnya, korban L tidak melakukan visum lantaran kejadian bullying itu diduga terjadi pada Maret 2023 dan baru dilaporkan pada Desember 2023.

“(Waktu diperiksa nggak ditemukan bukti kekerasan?) Nggak ada, kan kita periksa beberapa dokter. Kita perlu rekam medis, rekam medis tersebut tidak ditemukan karena begitu anak L ini mengalami kata orang tuanya dugaan bullying pasti kan periksa ke dokter. Nah dokter-dokter tersebut kita lakukan (pemeriksaan),” jelasnya.

Selain itu, polisi juga memeriksa psikologi korban anak. Berdasarkan penuturan ahli psikolog, keterangan korban anak seringkali berubah-ubah.

“Kita juga memeriksa UPTD psikologi juga L ini keterangannya cenderung berubah-ubah masih labil. Sehingga perkara tersebut tidak ditemukan bekas-bekas penganiayaan. Kami tidak menemukan tindak pidana sehingga kita tidak bisa menaikkan status perkara ke sidik,” kata dia.

Kedua belah pihak baik itu pelapor maupun terlapor dalam hal ini kepala sekolah dan orang tua siswa sudah menerima surat perintah penghentian penyelidikan (SP3). Dia mengatakan, pihak korban sempat merasa tidak puas dengan putusan tersebut, meski demikian, apabila ada bukti baru maka kasus tersebut dapat dibuka kembali.

Kronologi Singkat SP3 Kasus Kekerasan Anak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *