Jalan Braga dikenal sebagai salah satu ikon wisata Kota Bandung. Kawasan ini bukan sekadar jalur penghubung pusat kota, melainkan juga menyimpan sejarah yang membentuk identitas Bandung hingga menyandang julukan Paris van Java.
Dilansir dari buku ‘Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950’ karya Sudarsono Katam, kawasan Braga pada awal 1800-an mulanya adalah jalan kecil yang arahnya mengikuti aliran sungai hingga ke hulu Sungai Cikapundung. Jalan ini hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan orang berkuda.
Fungsi jalan ini terbilang vital, yakni sebagai jalur penghubung antarkawasan mulai dari Dayeuhkolot atau Krapyak, Alun-alun, Merdeka Lio, Balubur, Coblong, Dago, Bumiwangi, hingga Maribaya.
Pada masa itu, jalur tersebut juga beririsan dengan jalan tradisional peninggalan Kerajaan Pajajaran yang menghubungkan Sumedanglarang dan Wanayasa. Karena peran itulah, jalan tersebut sempat dikenal dengan sebutan Jalan Wanayasa.
Seiring berjalannya waktu, jalan setapak tersebut berkembang menjadi jalur lalu lintas penduduk dan sarana angkutan hasil bumi. Komoditas utama yang melintasinya adalah kopi, yang diangkut dari gudang-gudang penyimpanan menuju Grote Postweg alias Jalan Raya Pos yang legendaris.
Lokasi gudang kopi itu berada di kawasan yang kini menjadi area parkir dan taman Balai Kota Bandung. Aktivitas lalu-lalang roda-roda pedati yang mengangkut kopi di lintasan jalan membuat istilah ‘Karrenweg‘ cukup melekat di kalangan warga untuk menamai jalan tersebut. Istilah itu kemudian berkembang menjadi ‘Pedatiweg‘ alias Jalan Pedati.
Bagaimana kemudian sebutan Pedatiweg berubah menjadi Jalan Braga? Terkait hal ini, Sudarsono Katam mencatat ada beberapa versi yang berkembang di masyarakat dan kalangan sejarawan. Versi-versi ini lahir dari penafsiran bahasa, kondisi geografis, hingga dinamika sosial masyarakat Bandung pada masa lalu.
Sudarsono menuturkan, sastrawan Sunda M.A. Salmoen menyebut bahwa nama Braga berasal dari kata baraga, yang berarti jalan di tengah persawahan yang menyusuri sungai. Penafsiran ini berangkat dari kondisi geografis kawasan tersebut pada masa awal, dimana area di sisi timur dan barat jalan setapak masih berupa hamparan sawah. Jalan itu menjadi jalur kecil yang membelah persawahan sekaligus mengikuti aliran Sungai Cikapundung.
Sementara itu, sejarawan Haryoto Kunto memiliki pandangan berbeda. Ia menyebut bahwa kata Braga berasal dari istilah ngabaraga, yang berarti berjalan menyusuri sungai, sesuai dengan lintasan alami jalan tersebut. Tak hanya itu, ia juga melakukan kirata basa dengan memaknai ngabaraga sebagai ‘ngabar raga‘ atau memamerkan tubuh.
Penafsiran tersebut berkaitan dengan perubahan fungsi Braga di kemudian hari, ketika kawasan tersebut berkembang menjadi ruang publik tempat warga (khususnya kalangan Eropa) menampilkan gaya berpakaian. Kawasan ini lalu dikenal sebagai pusat mode dan perbelanjaan, sehingga aktivitas ‘memamerkan diri‘ menjadi bagian dari budaya berjalan-jalan di Braga.
Selain itu, Sudarsono Katam juga mengemukakan kemungkinan lain terkait perubahan nama Karrenweg menjadi Bragaweg. Ia mengaitkannya dengan keberadaan Toneelvereniging Braga yang berdiri pada 18 Juni 1882.
Perhimpunan ini didirikan oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sitjthoff di kawasan Karrenweg. Toneelvereniging Braga, yang juga dikenal sebagai De Muziek- en Tooneelvereeniging Braga, merupakan organisasi seni pertunjukan yang cukup berpengaruh di Bandung.
Perhimpunan tersebut adalah wadah interaksi sosial kalangan Eropa melalui kegiatan drama, teater, musik, dan sastra. Ketenaran Toneelvereniging Braga diduga memengaruhi penyebutan kawasan Karrenweg dalam percakapan sehari-hari.
Masyarakat Bandung yang mengagumi perhimpunan tersebut kemungkinan mulai menyebut Karrenweg sebagai Bragaweg secara lisan. Penyebutan itu kemudian menguat dan Gementee Bandoeng akhirnya menetapkannya secara resmi sebagai nama jalan.
“Mereka menyebut Karrenweg sebagai Bragaweg dalam pembicaraan sehari-hari, yang lama-kelamaan ditetapkan sebagai nama resmi oleh Gementee Bandoeng,” tulis Katam.
Metamorfosis Jalan Braga terus berlanjut hingga memasuki akhir abad ke-19. Pada tahun 1874, di kawasan ini telah berdiri warung-warung sederhana berdinding bambu dan beratap rumbia. Di sisi lain, mulai muncul rumah-rumah berukuran cukup besar milik orang Eropa yang menandai perubahan struktur sosial kawasan tersebut.
C.A. Hellerman tercatat sebagai orang pertama yang membuka toko di Braga. Ia mendirikan toko senjata api dan perlengkapan berburu, yang menjadi cikal bakal berkembangnya aktivitas perdagangan di kawasan ini. Seiring waktu, jumlah toko di Braga terus bertambah dan jenis barang yang dijual semakin beragam.
Perkembangan Braga kian pesat setelah muncul rencana pemindahan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung pada tahun 1916. Dampaknya, infrastruktur dan kawasan perdagangan Bandung mengalami percepatan, termasuk Jalan Braga.
Pada era 1930-an, Bragaweg telah menjelma menjadi pusat pertokoan eksklusif sekaligus tempat rekreasi. Kawasan ini menjadi lokasi favorit para Preangerplanters alias para juragan kebun teh untuk bersantai dan berbelanja.
Sepanjang jalan, berdiri toko-toko yang menjual barang mewah seperti gaun, tas, sepatu, parfum, perhiasan, hingga jam tangan. Bahkan, sebagian barang diimpor langsung dari luar Hindia Belanda dan tidak tersedia di pusat pertokoan lain.
Selain itu, penjahit di kawasan Braga dikenal mampu membuat setelan jas dengan bahan berkualitas tinggi dalam waktu singkat. Layanan tersebut semakin mengukuhkan reputasi Braga sebagai pusat mode dan gaya hidup. Popularitas kawasan ini di kalangan orang Eropa pun terus meningkat.
Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama yang melahirkan julukan ‘Parijs van Java’ atau ‘Paris van Java’ alias ‘Paris dari Jawa’ bagi Bandung. Kota ini dipandang sebagai pusat mode dan perbelanjaan di Hindia Belanda, menyerupai Paris di Eropa. Terlebih, kawasan Braga juga mendapat julukan ‘De meest Europeesche winkelstraat van Indie‘, yang berarti kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda.
Kemunculan Julukan Paris van Java


Metamorfosis Jalan Braga terus berlanjut hingga memasuki akhir abad ke-19. Pada tahun 1874, di kawasan ini telah berdiri warung-warung sederhana berdinding bambu dan beratap rumbia. Di sisi lain, mulai muncul rumah-rumah berukuran cukup besar milik orang Eropa yang menandai perubahan struktur sosial kawasan tersebut.
C.A. Hellerman tercatat sebagai orang pertama yang membuka toko di Braga. Ia mendirikan toko senjata api dan perlengkapan berburu, yang menjadi cikal bakal berkembangnya aktivitas perdagangan di kawasan ini. Seiring waktu, jumlah toko di Braga terus bertambah dan jenis barang yang dijual semakin beragam.
Perkembangan Braga kian pesat setelah muncul rencana pemindahan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung pada tahun 1916. Dampaknya, infrastruktur dan kawasan perdagangan Bandung mengalami percepatan, termasuk Jalan Braga.
Pada era 1930-an, Bragaweg telah menjelma menjadi pusat pertokoan eksklusif sekaligus tempat rekreasi. Kawasan ini menjadi lokasi favorit para Preangerplanters alias para juragan kebun teh untuk bersantai dan berbelanja.
Sepanjang jalan, berdiri toko-toko yang menjual barang mewah seperti gaun, tas, sepatu, parfum, perhiasan, hingga jam tangan. Bahkan, sebagian barang diimpor langsung dari luar Hindia Belanda dan tidak tersedia di pusat pertokoan lain.
Selain itu, penjahit di kawasan Braga dikenal mampu membuat setelan jas dengan bahan berkualitas tinggi dalam waktu singkat. Layanan tersebut semakin mengukuhkan reputasi Braga sebagai pusat mode dan gaya hidup. Popularitas kawasan ini di kalangan orang Eropa pun terus meningkat.
Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama yang melahirkan julukan ‘Parijs van Java’ atau ‘Paris van Java’ alias ‘Paris dari Jawa’ bagi Bandung. Kota ini dipandang sebagai pusat mode dan perbelanjaan di Hindia Belanda, menyerupai Paris di Eropa. Terlebih, kawasan Braga juga mendapat julukan ‘De meest Europeesche winkelstraat van Indie‘, yang berarti kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda.
Kemunculan Julukan Paris van Java








